Semakin Meningkat, 220 Orang Tewas Akibat Bentrokan Antar Suku di Sudan
- Istimewa
VIVA Dunia – Korban tewas akibat bentrokan antar suku di Sudan selatan telah meningkat menjadi 220 orang, menjadikan peristiwa ini salah satu kekerasan etnis paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir.
Melansir dari Aljazeera, menyebutkan pertempuran di provinsi Nil Biru, yang berbatasan dengan Ethiopia dan Sudan Selatan, muncul kembali bulan oktober ini karena sengketa tanah. Peristiwa ini mengadu domba orang Hausa, yang berasal dari Afrika Barat, melawan komunitas Berta.
Ketegangan meningkat pada hari Rabu dan Kamis, 18-19 Oktober 2022 di kota Wad al-Mahi yang berbatasan langsung dengan Ethiopia. Kerusuhan menambah kesengsaraan negara yang terperosok dalam konflik sipil dan kekacauan politik.
Fath Arrahman Bakheit, direktur jenderal kementerian kesehatan Nil Biru, mengatakan pada hari Minggu, 23 Oktober 2022 bahwa para pejabat telah menghitung sedikitnya 220 orang tewas. Dia mengatakan angka tersebut bisa jauh lebih tinggi karena tim medis belum mampu mencapai pusat bentrokan.
Bakheit mengatakan, tim kemanusiaan dan medis pertama mencapai Wad al-Mahi Sabtu malam untuk menilai situasi, termasuk menghitung "sejumlah besar mayat" dan ratusan orang yang terluka.
“Dalam bentrokan seperti itu, semua orang kalah,” katanya. “Kami berharap ini segera berakhir dan tidak pernah terjadi lagi, tetapi kami membutuhkan intervensi politik, keamanan, dan sipil yang kuat untuk mencapai tujuan itu.”
Secara keseluruhan sekitar 211.000 orang telah mengungsi akibat kekerasan suku dan serangan lain di seluruh Sudan tahun ini.
Pihak berwenang memerintahkan berlakunya jam malam di Wad al-Mahi dan mengerahkan tentara ke daerah itu. Mereka juga membentuk komite pencari fakta untuk menyelidiki bentrokan itu, lapor kantor berita SUNA.
Pertempuran antara kedua kelompok itu pertama kali meletus pada pertengahan Juli dan menewaskan sedikitnya 149 orang pada awal Oktober. Ini memicu protes kekerasan dan memicu ketegangan antara dua kelompok etnis di Blue Nile dan provinsi lainnya.
Pertempuran terakhir terjadi pada saat kritis bagi Sudan, hanya beberapa hari sebelum ulang perayaan pertama kudeta militer yang semakin menjerumuskan negara itu ke dalam kekacauan.
Kudeta itu menggagalkan transisi singkat negara itu menuju demokrasi, setelah hampir tiga dekade pemerintahan represif di bawah Omar al-Bashir, yang digulingkan pada April 2019 oleh pemberontakan rakyat.
Dalam beberapa pekan terakhir, militer dan gerakan pro-demokrasi telah terlibat dalam pembicaraan untuk mencoba mencari jalan keluar dari situasi tersebut. Para jenderal setuju untuk mengizinkan warga sipil menunjuk seorang perdana menteri untuk memimpin negara itu melalui pemilihan umum dalam waktu 24 bulan, kata gerakan pro-demokrasi pekan lalu.
Kekerasan di Blue Nile kemungkinan akan memperlambat upaya tersebut. Kelompok-kelompok protes, yang menolak kesepakatan dengan para jenderal yang berkuasa, telah mempersiapkan demonstrasi anti-militer, tepatnya pada peringatan pertama kudeta.