RI Diminta Dukung Langkah Hukum Bela Etnis Uighur di Xinjiang
- Amnesty International
VIVA Dunia - Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) meminta negara-negara dunia khususnya Indonesia, untuk mendukung langkah sebuah firma hukum yang melaporkan dugaan kejahatan kemanusiaan China terhadap etnis Uighur di Xinjiang.
Momentum Selamatkan Uighur
“Ini adalah momentum bagi negara-negara dunia termasuk Indonesia, untuk menyelamatkan orang-orang Uighur dari kejahatan kemanusiaan yang diduga kuat masih terjadi hingga saat ini,” kata Peneliti Senior CENTRIS, AB Solissa, kepada wartawan, Kamis, 8 September 2022.
Langkah Penting Menuju Keadilan
Ia menuturkan Kongres Uighur Dunia mengatakan bahwa pengajuan pengaduan pidana di Argentina adalah langkah penting menuju keadilan yang telah lama tertunda bagi rakyat Uighur, sekaligus meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Xinjiang.
Apalagi, lanjutnya, pada bulan Desember 2021 sebelumnya, Pengadilan Uighur yang dipimpin ahli hukum Inggris, Geoffrey Nice, mengeluarkan putusan tidak mengikat yang menyatakan bahwa China telah melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap muslim Uighur, setelah mendengar bukti dari para penyintas kamp interniran dan para ahli di wilayah tersebut.
Beberapa hari setelah keputusan ini, WUC dan UHRP mengatakan mereka sedang bersiap untuk mengajukan pengaduan pidana ke Pengadilan Argentina dengan yurisdiksi internasional, dan aduan tersebut benar-benar telah mereka layangkan.
“Dari pernyataan tersebut, terdapat fakta jika telah bertahun-tahun orang-orang Uighur mencari mekanisme keadilan hukum internasional untuk menyelamatkan mereka dari tragedi kemanusian,” kata Solissa.
Dia mengatakan pengaduan pidana ini akan menjadi kesempatan bersejarah bagi muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang agar suara mereka didengar dan hak hidup dalam kehidupan diberikan oleh pengadilan domestik formal.
Disuarakan Masyarakat Dunia
Upaya untuk menegakkan keadilan sekaligus cara menyelamatkan jutaan etnis muslim Uighur yang diduga mengalami berbagai jenis tindakan kekerasan hingga pembunuhan oleh China, kembali disuarakan oleh masyarakat dunia.
Salah satunya firma hukum Justice Abroad, yang mengatas namakan World Uighur Congress (WUC) berbasis di Jerman dan Proyek Hak Asasi Manusia Uyghur (UHRP) yang berbasis di Washington, DC, mengajukan pengaduan pidana resmi ke Pengadilan Buenos Aires di bawah ketentuan yurisdiksi universal yang ditetapkan dalam konstitusi Argentina.
Para pengacara yang bertindak atas nama dua kelompok hak asasi Uighur tersebut, mengajukan kasus pidana di Pengadilan Argentina, dengan tuduhan bahwa China melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan melalui kebijakan represif yang menargetkan muslim di wilayah barat laut Xinjiang negara itu.
Pengaduan pidana resmi tersebut, memungkinkan pengadilan pidana negara untuk menyelidiki dan mengadili kejahatan internasional, seperti genosida, penyiksaan dan kejahatan terhadap kemanusiaan di mana pun mereka terjadi di dunia, termasuk memberikan penilaian.
Presiden WUC, Dolkun Isa, menyebut pengaduan pidana memiliki makna nyata dan simbolis, bagi perjuangan kemanusiaan menyelamatkan nyawa sekaligus masa depan etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya.
Kelompok hak asasi manusia, media massa internasional, saksi serta penyintas, juga telah mengajukan kesaksian berikut bukti yang kredibel, yang menunjukkan dugaan pihak berwenang Tiongkok telah melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap orang-orang Uighur dan minoritas Turki lainnya di Xinjiang sejak 2017.
Dugaan pelanggaran berat HAM ini, dimulai Beijing secara sewenang-wenang dengan menahan orang-orang Uighur pada kamp yang disebut mereka sebagai tempat pendidikan ulang bahkan di penjara, meskipun tidak ada bukti kuat etnis minoritas tersebut telah melakukan kejahatan.
China mengklaim fasilitas itu adalah pusat pelatihan kejuruan yang dimaksudkan untuk mencegah ekstremisme dan radikalisme agama, dan Tiongkok mengatakan bahwa fasilitas itu telah ditutup.
Diyakini bahwa pihak berwenang telah menahan hingga 1,8 juta orang Uighur dan lainnya yang dituduh menyembunyikan pandangan agama yang kuat terhadap ekstrimisme.
Ada juga bukti bahwa beberapa tahanan menjadi sasaran kerja paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, dan sterilisasi paksa dan aborsi.