Pelanggaran HAM pada Uighur Masih Terjadi, RI Diminta Ikut Pantau
- ANTARA FOTO/Basri Marzuki
VIVA Dunia - Aparat berwenang di wilayah Xinjiang dilaporkan menggunakan kekerasan terhadap pihak yang mereka anggap sebagai penjahat dan buronan termasuk orang-orang Uighur yang disebut ekstremis agama.
Dikutip dari laman Radio Free Asia (RFA), Kamis, 11 Agustus 2022, tindakan tersebut dilakukan oleh bawahan Presiden China Xi Jinping, Wang Xiaohong, yang diangkat sebagai menteri keamanan publik pada 25 Juni lalu.
Jaga Keamanan dan Kontrol Sosial
Wang Xiaohing menyebut tindakan itu untuk memberantas kekuatan kriminal dan untuk menjaga keamanan politik dan kontrol sosial di seluruh negeri.
Kongres Partai Komunis Tiongkok
Disebutkan, jelang Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok ke-20 yang akan dilaksanakan akhir tahun 2022, loyalis Xi Jinping itu telah mengerahkan polisi untuk menelusuri seluruh pelosok wilayah Xinjiang guna mengantisipasi semua jenis risiko gangguan keamanan.
Hal ini dilakukan Wang Xiaohing agar agenda besar Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok yang menentukan arah tujuan dan kebijakan nasional partai untuk lima tahun ke depan, serta menentukan kepemimpinan mereka, tidak terganggu oleh orang-orang atau kelompok yang mereka sebut ekstrimis.
72 Ribu Tersangka Kriminal Ditangkap
Pada pertemuan promosi 15 Juli lalu untuk Aksi Seratus Hari di seluruh China, para pemimpin keamanan publik di Negeri Tirai Bambu ini mengatakan bahwa 42.000 kasus telah dipecahkan dan 72.000 tersangka kriminal, telah ditangkap selama kampanye.
Berdampak pada Muslim Uighur
Tindakan China ini diduga berdampak pada mayoritas muslim Uighur di Xinjiang karena mereka harus menanggung beban kebijakan penindasan Tiongkok selama beberapa dekade.
Pihak berwenang umumnya menolak untuk memberikan jawaban atas operasi ini, namun tindakan yang disebut pembersihan keamanan publik di Xinjiang dengan menargetkan orang-orang Uighur yang dianggap ekstremis agama, separatis dan teroris terus berlangsung.
Bermuka Dua
Dikatakan, Partai Komunis China menggunakan istilah “bermuka dua” untuk menggambarkan orang-orang biasanya seperti pejabat atau anggota partai yang korup, yang secara ideologis tidak setia kepada Partai Komunis, namun cap ini sering diterapkan pada orang Uighur yang menjalankan tradisi budaya dan agama mereka.
Seorang petugas polisi di Hotan, sebuah kota besar di barat daya Xinjiang, mengkonfirmasi bahwa markas besar polisi kota tersebut mengadakan pertemuan yang membahas tentang menghilangkan dan memerangi kekuatan jahat, dalam beberapa bulan terakhir.
Anehnya, kampanye anti kejahatan di tempat lain di China berfokus pada kejahatan seperti pencurian, sementara di wilayah Xinjiang, petugas berusaha menangkap orang-orang Uighur yang diduga tidak setia kepada Tiongkok.
Operasi Melawan Kekuatan Jahat
Pihak berwenang China mengaku fokus pada "operasi melawan kekuatan jahat" di Hotan, di mana kekuatan jahat tersebut mengacu pada orang-orang yang mengambil penjahat di bawah sayap mereka.
“Di sini target utama kami dalam melenyapkan kekuatan jahat, yakni orang-orang yang menyebarkan agama secara ilegal di bawah sayap mereka, melindungi mereka dari tuntutan. Orang-orang yang mereka ambil di bawah sayap mereka juga termasuk separatis, ekstremis, dan orang bermuka dua,” kata pihak berwenang yang enggan disebutkan namanya.
“Pencopet dan pencuri berada di pinggiran memang target kami dalam operasi ini, namun target utama adalah yang saya sebutkan sebelumnya,” tuturnya lagi.
Bahkan, pihak berwenang mengaku telah menangkap seorang pria bernama Waris dan lebih dari 10 orang dalam sebuah arisan yang dihadiri lebih dari 500 orang.
Sementara, polisi setempat mengatakan tidak tahu identitas 10 orang tersebut, dan kasus itu diklasifikasikan sebagai rahasia negara.
Etnis Uighur Jadi Sasaran Pelanggaran HAM
Etnis Uighur dan minoritas Turki lainnya di Xinjiang telah menjadi sasaran pelanggaran berat hak asasi manusia, penyiksaan dan kerja paksa, serta pemberantasan tradisi linguistik, budaya dan agama mereka dalam apa yang disebut oleh Amerika Serikat dan beberapa parlemen Barat sebagai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Aparat berwenang China telah menahan hingga 1,8 juta orang Uighur dan minoritas Turki lainnya di kamp-kamp interniran sejak 2017, menurut banyak laporan investigasi oleh para peneliti, lembaga think tank, dan media asing.
China telah mengatakan bahwa kamp-kamp itu adalah pusat pelatihan kejuruan yang dimaksudkan untuk mencegah ekstremisme agama dan terorisme, dan bahwa kamp-kamp itu sekarang ditutup.
Terkait hal ini, Peneliti Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) AB Solissa menilai negara-negara dunia khususnya Indonesia untuk terus memantau perkembangan kasus pelanggaran HAM yang diduga kuat masih menimpa jutaan etnis Uighur di Xinjiang China.
Ia menilai tindakan-tindakan pihak berwenang China itu adalah bukti bahwasanya pelanggaran berat HAM yang terjadi di Xinjiang Tiongkok ini belum usai hingga saat ini.
“Baca saja laporan atau berita RFA, lugas sekali disebutkan cara-cara China yang di duga kuat untuk menangkap orang-orang Uighur dan etnis muslim minoritas lainnya, dengan dalil keamanan nasional,” kata Solissa.