15 Warga Tewas Saat Gejolak Protes Anti-PBB di Kongo
- Puspeninter TNI
VIVA Dunia – Sedikitnya 15 orang tewas pada hari kedua protes anti-PBB di wilayah timur laut Republik Demokratik Kongo yang sedang bergejolak, dalam serangan yang menurut Sekjen PBB Antonio Guterres bisa merupakan bagian 'kejahatan perang'.
Mengutip dari Africannews, protes meletus pada hari Senin, 25 Juli 2022 ketika orang banyak turun ke jalan-jalan di kota utama provinsi Kivu Utara, Goma, menentang misi negara itu di PBB, Misi Stabilisasi Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Republik Demokratik Kongo (MONUSCO)Â yang mereka tuduh gagal.
Demonstrasi menyebar lebih jauh ke utara ke kota Beni dan Butembo pada hari Selasa, 26 Juli 2022. Lima orang tewas di Goma dan sekitar 50 lainnya terluka, menurut juru bicara pemerintah Patrick Muyaya.
Tujuh warga sipil tewas di Butembo, kata kepala polisi setempat Kolonel Paul Ngoma. Seorang penjaga perdamaian dan dua petugas polisi PBB juga tewas di Butembo, kata PBB dalam sebuah pernyataan.
PBB mengatakan bahwa pengunjuk rasa telah "merampas senjata dengan kekerasan" dari polisi Kongo dan menembaki pasukan penjaga perdamaian. Mereka juga telah melemparkan batu dan bom bensin, membobol pangkalan, dan menjarah dan merusak fasilitas, menurut organisasi itu.
Sekretaris Jenderal PBB mengutuk keras kekerasan itu, kata seorang juru bicara dalam sebuah pernyataan.
"Dia menggarisbawahi bahwa setiap serangan yang ditujukan terhadap pasukan penjaga perdamaian PBB dapat merupakan kejahatan perang dan menyerukan kepada pihak berwenang Kongo untuk menyelidiki insiden ini dan dengan cepat membawa mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan," wakil juru bicara PBB Farhan Haq dalam Twitternya.
Haq mengatakan kepada wartawan sebelumnya bahwa situasinya sangat tidak stabil dan bala bantuan sedang dikerahkan. Dia menekankan bahwa pasukan PBB telah diperintahkan untuk menahan diri secara maksimal.
MONUSCO adalah salah satu operasi penjaga perdamaian terbesar di dunia. Tapi operasi itu mendapat kecaman dari wilayah yang bermasalah, di mana banyak yang menuduhnya gagal untuk mengakhiri pertumpahan darah selama beberapa dekade.
Lebih dari 120 kelompok bersenjata berkeliaran di wilayah yang bergejolak, di mana pembantaian sipil biasa terjadi dan konflik telah membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal.