Kolaborasi Negara-negara G20 dalam Penanganan Krisis Pangan Global
- Istimewa
VIVA Dunia – Akhir Juni 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengunjungi beberapa negara di Eropa dan Uni Emirat Arab untuk bertemu dengan para pemimpin anggota G7 dan G20, termasuk negara-negara yang dilanda konflik, yaitu Rusia dan Ukraina.
Kunjungan kerja Jokowi untuk menghadiri KTT G7 di Jerman juga dibarengi dengan pertemuan bilateral dengan beberapa pemimpin negara untuk membahas berbagai topik..
Jokowi menekankan kepada negara-negara G7 dan G20 untuk menyerukan upaya bersama dalam mengatasi krisis pangan yang saat ini, masalah ini mengancam masyarakat di negara berkembang untuk jatuh ke dalam keadaan kelaparan dan kemiskinan ekstrem.
Dalam perjalanan kerja tersebut, Jokowi melakukan kunjungan ke Ukraina untuk bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskyy dan juga mengunjungi Rusia untuk bertemu dengan Presiden Vladimir Putin.
Tujuan kunjungan Jokowi ke dua negara yang sedang bertikai itu adalah untuk menyarankan perdamaian dan juga membantu memastikan masuknya kembali secara aktif rantai pasokan pangan, pupuk, dan energi ke pasar global karena kedua negara memiliki pengaruh penting pada rantai pasokan dunia.
Untuk itu, Indonesia memainkan peran penting sejak negara itu memegang Kepresidenan G20 sejak bulan desember tahun 2021.
Indonesia akan mengakhiri kepresidenannya pada KTT G20 yang diadakan bulan November 2022 di Bali. Indonesia mengangkat tiga topik utama selama masa kepresidenannya: Sistem Kesehatan Dunia, Transformasi Ekonomi dan Digital, dan Transisi Energi.
Salah satu Working Group dalam Kepresidenan G20 adalah Agriculture Working Group on Agriculture (AWG).
Dalam AWG G20, tiga isu prioritas yang dibahas adalah membangun sistem pangan dan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan; mempromosikan perdagangan pangan yang terbuka, adil, dapat diprediksi, dan transparan; dan mendorong bisnis pertanian yang inovatif melalui teknologi digital pertanian untuk meningkatkan kehidupan pertanian di pedesaan.
Menteri Pertanian Indonesia, Syahrul Yasin Limpo menyatakan bahwa setiap negara anggota G20 membutuhkan komitmen untuk memastikan keseimbangan pasokan pangan dan perdagangan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan global.
Krisis pangan saat ini yang ditandai dengan kenaikan hampir seluruh harga komoditas pangan secara global, akan berdampak pada terbatasnya akses masyarakat miskin yang berujung pada kelaparan.
Krisis pangan tidak hanya terjadi dalam sehari tetapi merupakan kombinasi dari peristiwa yang terjadi secara global dan berdampak pada sistem pangan.
Perubahan iklim merupakan salah satu isu utama yang sangat berdampak dan mempengaruhi produksi dan ketahanan pangan dunia. Kebakaran hutan yang terjadi di Australia berdampak juga pada produksi daging, mengingat negara tersebut merupakan salah satu penghasil daging terbesar di dunia.
Kekeringan yang terjadi di Amerika Selatan, seperti di Brazil, Argentina, dan Paraguay, sebagai penghasil 50 persen kedelai dunia, menyebabkan turunnya produksi kedelai dunia yang berdampak pada produksi tahu dan tempe di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, tingginya curah hujan di atas normal pada pertengahan tahun berdampak pada produk hortikultura, seperti cabai dan bawang, sehingga menyebabkan harga melonjak.
Pandemi COVID-19 yang melanda sejak tahun 2020 juga berdampak pada sistem logistik dunia yang menaikkan harga komoditas pangan akibat kenaikan biaya pengiriman internasional.
Kenaikan harga gas bumi juga berkontribusi terhadap kenaikan harga pangan karena gas sebagai bahan baku pupuk berkontribusi terhadap kenaikan harga pupuk global. Selain itu, konflik antara Ukraina dan Rusia, sebagai produsen gandum dan pupuk terbesar di dunia, semakin mempengaruhi harga komoditas pangan dan pupuk.
Apalagi kebijakan beberapa negara untuk menghentikan ekspor beberapa komoditas penting untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu turut mendorong kenaikan harga komoditas pangan dunia.
Oleh karena itu, Jokowi sangat menekankan pentingnya upaya bersama dalam mengatasi krisis pangan kepada para pemimpin negara G7 dan G20.
Presiden mendesak negara-negara untuk bertindak cepat untuk menemukan solusi nyata untuk meningkatkan produksi pangan dan untuk menormalkan rantai pasokan pangan dan pupuk global.
Direktur Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios) Bhima Yudhistira juga menyatakan bahwa negara-negara anggota G20 harus sepakat untuk tidak menerapkan kebijakan perlindungan komoditas pangan agar krisis pangan global tidak semakin parah.
Negara-negara G20 harus segera menyalurkan pendanaan untuk peningkatan produksi pangan dengan memberikan subsidi pupuk, membantu petani, dan menjaga harga panen yang stabil, serta meningkatkan penyaluran pinjaman ke sektor pertanian, terutama petani dengan luas lahan di bawah dua hektar.