Xinjiang Suarakan Kebebasan Beragama Jelang Inspeksi Komisioner HAM
- ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie
VIVA – Otoritas Xinjiang menyuarakan isu-isu kebebasan beragama menjelang kedatangan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCHR) Michelle Bachelet untuk melakukan inspeksi ke daerah otonomi di wilayah baratdaya China yang dihuni oleh etnis minoritas Muslim Uighur itu.
Dalam pengarahan pers yang digelar oleh Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang (XUAR), Selasa sore, ditampilkan rekaman video aktivitas masyarakat setempat, terutama saat perayaan Idul Fitri pada Selasa 3 Mei 2022 lalu.
Bahkan narasi dalam video yang menggambarkan tentang situasi shalat Ied di beberapa masjid, aktivitas masyarakat berziarah ke makam sanak saudara, dan makan-makan bersama keluarga itu menggunakan bahasa Arab dengan subtitle bahasa Mandarin dan bahasa Inggris.
Deputi Direktur Publikasi Partai Komunis China (CPC) Xinjiang Xu Guixiang memandu jalannya pengarahan pers tersebut dengan mewawancarai langsung beberapa tokoh Muslim Uighur, seperti Abdur Raqib Tursuniyaz yang saat ini menjabat Rektor Xinjiang Islamic Institute (XII) dan Deputi Direktur Asosiasi Islam Xinjiang, melalui layar monitor.
Ada juga Mamat Jumah selaku khotib Masjid Idkah Kashgar dan Muhtarim Sherip (imam Masjid Yanghang Urumqi) yang turut memberikan testimoni melalui fasilitas video streaming.
Ketiga pemuka Islam berlatar belakang etnis Uighur tersebut sering kali tampil di depan publik untuk menyampaikan tentang kebebasan beribadah, pendidikan, perkembangan Islam, dan keberadaan beberapa masjid di Xinjiang yang difasilitasi oleh pemerintah setempat.
"Setelah menyelesaikan pendidikan, para lulusan XII akan pulang ke daerahnya masing-masing untuk menjadi imam dan khotib di kampung halamannya," kata Raqib.
Anggota Komite Tetap CPC Xinjiang Zumrat Obul memaparkan tentang situasi keberagamaan di daerahnya yang menurut dia sangat harmonis itu.
"Semua etnik, semua pemeluk agama, dan yang tidak beragama, menikmati suasana yang harmonis ini," kata politikus perempuan beretnis Uighur itu.
Menurut anggota legislatif itu, negara menjamin hak-hak warganya, termasuk dalam menjalankan ritual keagamaan yang dilindungi oleh undang-undang.
Ia mengklaim beberapa organisasi dan individu berlatar belakang Islam dari beberapa negara, seperti Arab Saudi, Turki, Pakistan, Afghanistan, Indonesia, dan Malaysia mengagumi dan mendukung situasi yang harmonis di daerahnya itu.
"Kami juga melakukan kerja sama dan bertukar pandangan dengan negara-negara tersebut, bahkan kami juga mengirimkan pelajar ke berbagai negara Islam, terutama Mesir, untuk belajar tentang agama," kata Obul.
Namun pengarahan pers pada sore itu tidak seperti biasanya. Pihak penyelenggara tidak memberikan kesempatan bertanya kepada beberapa awak media asing dan lokal yang mengikuti acara yang berlangsung selama sekitar 1,5 jam itu. Padahal beberapa media yang mendapatkan undangan telah dimintai mengisi formulir berikut daftar pertanyaan sejak Sabtu (7/5).
"Sesi hari ini tidak ada pertanyaan," demikian pemberitahuan dari pihak penyelenggara satu jam sebelum Xu Guixiang membuka pengarahan pers pada Selasa sore pukul 17.00 waktu setempat (16.00 WIB).
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) Zhao Lijian di Beijing, Senin (9/5), memastikan bahwa Komisioner UNHCHR Michelle Bachelet dan timnya sudah tiba di China dan sedang melakukan karantina mandiri seperti yang disyaratkan otoritas setempat terhadap setiap orang yang baru datang dari luar negeri.
Informasi yang beredar, Bachelet dan timnya menjalani karantina di Guangzhou, Provinsi Guangdong, di wilayah selatan China.
Kedatangan UNHCHR ke Xinjiang untuk melakukan inspeksi atas dugaan pelanggaran HAM, seperti kerja paksa, genosida, dan kamp re-edukasi yang dilakukan terhadap etnis minoritas Muslim Uighur. Namun Beijing membantah tuduhan itu dengan dalih sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam melakukan deradikalisasi dan de-ekstremisasi berbau agama serta meningkatkan taraf hidup warga dari etnis minoritas tersebut. (Ant/Antara)