5 Negara Ini Disebut Tak Aman untuk Pelarian Orang Uighur

Ormas Islam menggelar aksi demonstrasi bela Uighur di depan Kedubes China.
Sumber :
  • VIVAnews/ Bayu Januar.

VIVA - Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mengungkap beberapa data yang berasal dari riset serta penelitian sejumlah negara termasuk organisasi HAM dunia, yang menunjukan fakta pelanggaran berat HAM yang diduga kuat telah dilakukan oleh otoritas China.

Dilema Produsen Mobil Listrik China: Laris tapi Merugi

Aksi Kemanusian untuk Muslim Uighur, Uyghur

Photo :
  • ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Sudah Tidak Dapat Lagi Berkelit

China: Veto AS atas Rancangan Resolusi DK PBB untuk Gaza Tunjukkan Standar Ganda

Menurut peneliti senior CENTRIS, AB Solissa, China seyogianya sudah tidak dapat lagi berkelit atau berlindung dengan alasan memerangi extremisme Islam jika melihat validnya data-data hasil riset, penelitan hingga investigasi negara-negara dunia dan organisasi HAM dunia.

“Dari data yang kita peroleh, sedikitnya ada 5.532 kasus intimidasi yang dialami orang Uighur, 1.150 kasus lainnya ditahan tanpa alasan jelas dan 424 kasus muslim Uighur yang dideportasi atau diekstradisi ke China dari 1997 hingga Januari 2022,” kata Solissa kepada wartawan, Jumat, 6 Mei 2022.

Brutal! Pengendara Mobil SUV Ini Tabrak Anak SD dan Orang Tua di China

Sebagai catatan dalam laporan tersebut, dari 10 negara tempat pelarian orang Uighur serta etnis Kazakh, Kirgistan dan kelompok lain yang paling rentan terhadap penahanan atau ekstradisi, Pakistan, Kirgistan, Tajikistan, Kamboja, dan Myanmar, telah mengarah pada kesepakatan dengan China di mana para pemimpin antar negara tersebut setuju "memperdagangkan hak asasi manusia untuk peluang ekonomi."

Baca juga: Tim PBB Datangi China Terkait Dugaan Pelanggaran HAM atas Kaum Uighur

Kreditur Keuangan untuk 5 Negara

China adalah kreditur keuangan terbesar untuk lima bagi Pakistan, Kirgistan, Tajikistan, Kamboja, dan Myanmar, sehingga Tiongkok dapat dengan bebas mengambil orang-orang Uighur yang mereka inginkan di negara-negara tersebut.

Aksi solidaritas untuk Muslim Uighur

Photo :
  • ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Solissa mengatakan upaya yang dilakukan China mengarah pada tuduhan memaksakan kerja paksa, penahanan massal, pengendalian kelahiran paksa, penghapusan identitas budaya dan agama Islam hingga tuduhan genosida terhadap muslim Uighur.

Menggunakan seperangkat alat yang kompleks dan diduga kuat digunakan untuk intimidasi, pelecehan, pengawasan, penahanan dan ekstradisi, kampanye transnasional Beijing telah berkembang pesat serta terjadi di hampir belahan dunia.

“Hal ini juga telah didokumentasikan secara rinci dalam laporan baru yang dinamai “Tembok Besar Baja”, oleh Institut Kissinger Wilson Center di  Cina dan Amerika Serikat,” kata Solissa.

Kebangkitan Global China

Penelitian baru tersebut juga menunjukkan bagaimana kebangkitan global China yang dicontohkan oleh pengaruh besar ekonominya melalui proyek-proyek seperti Belt and Road Initiative (BRI) yang bernilai miliaran dollar Amerika.

Langkah ini telah memberi Beijing pengaruh yang baru di negara-negara yang mereka jadikan mitra, namun sesungguhnya rindakan ini patut diduga untuk mengkooptasi negara-negara yang China bantu ekonominya.

“Bradley Jardine, seorang penulis yang penelitian Wilson Center, mengungkap laporan bahwasanya China pertama kalau mendeportasi muslim Uighur dari Pakistan. Sejak itu, skalanya telah meningkat secara dramatis,” ujar Solissa.

Aksi Kemanusian untuk Muslim Uighur

Photo :
  • ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Sulit Melarikan Diri

Dari hasil investigasi Bradley, lanjut Solissa, semakin sulit bagi orang Uighur untuk melarikan diri dari penganiayaan di Xinjiang atau melarikan diri ke negara lain.

Asia Tengah dan Selatan pernah menjadi daerah pelarian dan perlindungan, tetapi itu telah berubah setelah pemerintah di kawasan tersebut membentuk ikatan yang lebih erat dengan Beijing.

Akibatnya, minoritas Uighur semakin kehilangan tempat dan ruang politik di Asia Tengah, Selatan dan Tenggara. Namun seiring perjalanan waktu, telah terbuka beberapa tempat persembunyian baru dan aman, seperti di negara Timur Tengah dan Turki.

Turki masih menjadi tujuan terbesar, meskipun ada eksodus kecil dari tokoh-tokoh terkemuka, seperti aktivis Kazakh Serikzhan Bilash, yang pindah ke Amerika Serikat. Ini menandakan tidak ada ruang nyata bagi muslim Uighur kecuali negara Timur Tengah, Turki dan Amerika Serikat.

“Tentu saja, orang Uighur yang menetap di luar China tidak sepenuhnya aman, karena dari berbagai penelitian menunjukkan tidak sedikit yang menghadapi serangan siber dan keluarga mereka di China khususnya di Xinjiang,” kata AB Solissa.

Umat Muslim Uighur di China.

Photo :
  • U-Report

Bentuk Organisasi Kerjasama Shanghai

Selain itu, tambah dia, China telah membentuk Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) sebagai kerangka kerja multilateral di mana Otoritas Tiongkok telah berkoordinasi dengan rekan-rekannya di Asia Tengah dan dengan Rusia, untuk memainkan peran utamanya.

Di dalam SCO, ada sejumlah perjanjian yang memungkinkan ekstradisi bersama tanpa pertanyaan antar negara anggota. Ada juga beberapa kerangka kerja untuk kontraterorisme, seperti pembagian intelijen bagi siapa saja yang telah ditandai sebagai teroris meski dengan bukti minimal dalam banyak kasus.

“Ini masih menjadi kekhawatiran bagi orang Uighur yang belum sepenuhnya bebas apalagi aman meski telah keluar dari China. Negara-negara dunia khususnya Indonesia harus aware dengan tindakan China ini. Jangan mau ikut dalam bagian pelanggaran HAM,” tutur AB Solissa.

Pemerintah China diduga kuat telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap sedikitnya 1 juta orang Uighur, Kazakh dan minoritas muslim lainnya ke kamp-kamp penahanan serta penjara di Provinsi Xinjiang Barat, dengan dalih memerangi ekstremisme Islam.

China disebut memburu orang Uighur dan minoritas muslim yang vokal terhadap Beijing khususnya program serta mega proyek China di dalam maupun luar negeri, seperti melalui kerja sama dengan pemerintah di Timur Tengah dan Asia Selatan serta Tengah.

Foto sampul buku Demokrasi dan Tatanan Global

Demokrasi dalam Arus Globalisasi: Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan

The Economist menggambarkan situasi kegentingan demokrasi berlangsung secara sistemik di berbagai belahan dunia. Indonesia dikategorikan sebagai 'demokrasi yang cacat'.

img_title
VIVA.co.id
27 November 2024