Mengenal Shein, Brand Fesyen China yang Booming di Kalangan Gen Z

Tangkapan gambar website penjualan Shein
Sumber :
  • id.shein.com

VIVA – Naik daunnya perusahaan fesyen Shein asal China di kalangan generasi Z yakni generasi yang lahir tahun 1990-an membuat pendapatan perusahaan ini selama pandemi amat besar. Bahkan pada 2021, diberitakan BBC Shein meraup pendapatan $20,5 miliar. Produk-produk fesyen Shein dibagikan di media sosial dengan tren “haul” yakni membagikan foto dan video baju-baju baru yang dibeli.

Anak-anak muda dengan antusiasnya menggunakan tagar #sheinhaul di TikTok sambil memamerkan baju-baju yang mereka beli. Di Instagram tak jarang anak-anak muda Indonesia juga disebutkan ikut dalam tren ini.

Namun tak banyak yang mengetahui bahwa para pendiri Sheinside mendirikan label ini setelah sepakat berkolaborasi pada 2008 yang dipimpin oleh Chris Xu dan berkantor pusat di Nanjing, China.

Kemudian nama perusahaan lebih dipopulerkan dengan Shein yang disingkat dan diucapkan "She-in" yang kemudian membentuk perusahaannya secara lengkap 5 tahun kemudian. Sekalipun perusahaan ini berbasis di China, target konsumennya datang dari seluruh dunia termasuk dari Eropa, Australia dan Amerika Serikat karena dianggap bisa menjual dengan harga yang amat terjangkau dengan kualitas yang cukup layak. 

Secara rata-rata, atasan, bikini, dress bisa dihargai hanya US$10,70.

Shein kemudian dalam beberapa tahun masuk menjadi pemain terbesar dalam industri baju siap pakai yang bisa mengirimkan ke 220 negara. Dilaporkan bahwa Shein menjual hingga lebih dari 600.000 jenis produk fesyen di berbagai aplikasi online mereka.

Sebagai perbandingan dalam hal kecepatan, Shein bisa memproduksi model-model baru dalam waktu 25 hari sementara untuk banyak peritel disebutkan melakukannya bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan.

Namun belakangan, Shein sebagaimana melansir BBC kini disoroti soal sampah dan kebanyakan pekerjanya yang dibayar standar.

BI Ungkap Keyakinan Konsumen Desember Naik Didorong Kondisi Ekonomi RI

Swiss Watchdog dan Public Eye mengeluarkan laporan tahun lalu yang menggambarkan temuan pihak penyidik di China.

"Mereka bekerja 11 sampai 12 jam per hari," kata Timo Kollbrunner, peneliti dari Public Eye.

Menkes Budi Gunadi Sebut HMPV Bukan Virus Mematikan

"Dan ini bukan lima hari per minggu, tapi tujuh hari per minggu," tambahnya.

"Mereka biasanya memiliki satu hari libur dalam sebulan."

Minister Sadikin Reveals Facts about HMPV in China: Found in Indonesia

Pihak penyidik lembaga tersebut menyatakan telah berbicara dengan 10 tenaga kerja dari enam pabrik di Guangzhou, China.

Ilustrasi rokok

Penyeragaman Kemasan Rokok Dinilai Langgar Hak Konsumen Dapatkan Informasi Produk

Rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tercantum dalam penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dinilai melanggar hak konsumen.

img_title
VIVA.co.id
15 Januari 2025