Logo ABC

Tentara Australia Diduga Meninju Menendang Mayat di Timor Timur

Laporan investigasi Four Corners dari ABC mengungkap seorang anggota pasukan elit Australia SAS bertindak brutal terhadap mayat-mayat di Timor Timur di tahun 1999. (Four Corners: Nick Wiggins, Photographs: ABC News)
Laporan investigasi Four Corners dari ABC mengungkap seorang anggota pasukan elit Australia SAS bertindak brutal terhadap mayat-mayat di Timor Timur di tahun 1999. (Four Corners: Nick Wiggins, Photographs: ABC News)
Sumber :
  • abc

Apa yang dikatakan para saksi mata yang melihat dan mendengar peristiwa baku tembak antara pasukan khusus (SAS) Australia dan milisi pro-Indonesia di Timor Timur, terungkap setelah lebih dari 20 tahun.

Kesaksian tersebut di antaranya termasuk tindakan yang diduga dilakukan seorang tentara SAS yang oleh program investigasi Four Corners ABC disebut sebagai "Operator K".

Kesaksian ini juga mempertanyakan mengapa kasus terhadap Operator K dihentikan.

Apa yang dilakukan SAS di Timor Timur?

Seperti diketahui, kekerasan meningkat pada tahun 1999 setelah rakyat Timor Timur, yang sekarang resmi dikenal sebagai Timor-Leste, secara mayoritas memilih opsi merdeka dari Indonesia.

Milisi pro-Indonesia, yang bertekad untuk menggagalkan pemisahan Timtim, membunuh lebih dari 1.000 orang dan menyebabkan ratusan ribu warga terusir dari rumah mereka.

Australia saat itu memimpin pasukan penjaga perdamaian multi-nasional yang terdiri dari berbagai negara termasuk Selandia Baru, Kanada, Inggris dan Thailand.

Apa yang terjadi dalam baku tembak ini?

Tentara Australia disergap oleh milisi pro-Indonesia di dekat Kota Suai pada 6 Oktober 1999.

Dua orang tentara SAS Australia terluka saat itu, sementara dua anggota milisi tewas dalam baku tembak.

Dalam pernyataan saksi yang diperoleh program Four Corners, tentara Selandia Baru mengatakan Operator K "kehilangan kendali diri" setelah penyergapan dan dia terlihat menendang dan meninju mayat-mayat itu.

"Saya mendengar (Operator K) berteriak, 'Beraninya kamu menembak rekan saya,' atau kurang-lebih kata-kata seperti itu," kata saksi dari pasukan SAS Selandia Baru, yang diberi kode "Soldier U" oleh penyidik.

"Dia juga menendang dan meninju mayat-mayat itu sambil melontarkan kata-kata ini. Saat itu saya berada sekitar 10-15 meter dari LAV (kendaraan Australia yang mengangkut mayat-mayat itu) dan saya berpikir dia telah kehilangan kendali diri," tambahnya.

Seorang saksi tentara Selandia Baru menyebut dia diberitahu oleh seorang rekan Australia bahwa salah satu anggota milisi masih hidup dan mencoba bangkit untuk melarikan diri ketika Operator K 'menekuk' atau menembaknya.

Perwira SAS Selandia Baru "Prajurit X" mengatakan kepada penyidik bahwa Operator K ibarat "meriam longgar dan seringkali tidak profesional". Dia mengaku telah menyarankan agar Operator K ditarik dari garis depan.

Siapa yang mewawancarai saksi-saksi ini?

Korps Polisi Militer Australia (RACMP) memulai penyelidikan atas 19 tuduhan pelanggaran perang di Timor Timur, termasuk apa yang terjadi setelah penyergapan di Suai.

Kesaksian itu termasuk di antara 330 yang dikumpulkan dari saksi-saksi di empat negara.

Penyidik juga mewawancarai tentara yang memeriksa kondisi mayat-mayat itu setelah diterbangkan ke Dili.

Salah satunya tentara yang memeriksa mayat adalah Michael Clarey, perwira intelijen yang tergabung dalam SAS Australia.

"Menyebut bahwa mereka telah mati secara kejam adalah pernyataan yang meremehkan," katanya kepada Four Corners.

"Jadi, satu orang kehilangan sebagian besar bagian atas kepalanya. Kami semua berkomentar secara bersamaan bahwa itu dilakukan dari jarak sangat dekat," ujar Clarey.

"Kami tahu itu, bukan karena kami ahlinya, tapi kami tahu itu karena lubang lukanya dalam kondisi terbakar. Ketika Anda menembakkan senjata, ada ledakan moncong. Benda keluar dari ujung laras dan terbakar," jelasnya.

"Jika ditembak dari jarak terlalu dekat, itu akan membakar kulit. Dalam kasus orang ini, dia mengalami salah satu luka seperti itu," tambahnya.

Apa bukti lain yang tersedia?

Penyidik juga menggali mayat anggota milisi tiga tahun setelah mereka dibunuh untuk melakukan otopsi.

Ahli patologi menemukan mayat kedua pria itu memiliki luka tembak di dada, dan luka di kepala.

Departemen Pertahanan meminta Kepolisian Federal Australia (AFP) untuk meninjau kembali penyelidikan polisi militer yang sedang berlangsung.

Operasi AFP itu mendengar keterangan bahwa kedua anggota milisi itu mungkin telah ditembak "dari jarak dekat dengan pistol 9mm setelah mereka terluka".

Materi yang dikumpulkan oleh polisi militer "memberikan beberapa bukti yang mendukung dugaan pembunuhan" tapi belum cukup bukti untuk sebuah dakwaan.

Setelah dua setengah tahun, tanpa saksi mata atau bukti forensik yang meyakinkan, penyelidik tidak dapat merekomendasikan dakwaan pembunuhan.

Sebaliknya, Operator K hanya didakwa menendang mayat.

Apa yang terjadi dengan Operator K?

Jaksa militer Australia meminta dua tentara SAS Selandia Baru bersaksi memberatkan untuk Operator K.

Tapi ada kekhawatiran akan keselamatan mereka yang berlanjut hingga ke rantai komando Panglima Angkatan Darat Selandia Baru.

Ketika hakim Pengadilan Militer Australia tidak mengizinkan mereka untuk memberikan kesaksian dengan identitas yang dilindungi, kasus ini pun berantakan.

Operator K sebaliknya mengeluhkan perlakuan yang dialaminya dan Kepala Departemen Pertahanan Australia memerintahkan penyelidikan atas keluhan tersebut.

Ketika mengkritik durasi dan kualitas penyelidikan tahap awal, Panglima Angkatan Darat ADF secara terbuka meminta maaf kepada Operator K.

Mengapa ini penting sekarang?

Pernyataan saksi dan tuduhan yang diajukan oleh anggota SAS Selandia Baru telah disembunyikan selama lebih dari 20 tahun.

Kesaksian itu menunjukkan betapa seriusnya kekhawatiran para saksi tentang apa yang terjadi hari itu.

Mereka juga mempertanyakan bagaimana kasus terhadap Operator K berakhir secara spektakuler.

Bagi sebagian orang, kegagalan untuk mengadili kasus di Tim-tim ini adalah mata rantai pertama dalam rentetan kejadian yang mengarah pada dugaan kejahatan perang SAS di Afghanistan, di kemudian hari.

"Jika keadaannya berbeda, dan perlindungan saksi diberikan kepada warga Selandia Baru, saya kira kita akan mengalami masalah seperti di Afghanistan," kata Karl Fehlauer, seorang polisi militer yang terlibat dalam penyelidikan.

"Saya pikir hal itu memberikan pesan keliru kepada sejumlah pihak di berbagai organisasi bahwa mereka dapat melakukan apa saja dan lolos begitu saja,." ujarnya.

Artikel ini merupakan bagian dari laporan investigasi ABC yang selengkapnya bisa dibaca di sini dan di sini