Revolusi Kemerdekaan: Kekerasan Ekstrem Tentara Belanda dan Indonesia
- bbc
Apa reaksi para veteran dan `orang Indo` di Belanda atas penelitian periode 1945-1949?
Ada sekitar 200.000 `orang Indo` atau Indis yang berimigrasi ke Belanda dari Indonesia antara 1945-1965.
Orang Indo membentuk organisasi sosial atau politis dan memiliki sensitivitas tentang isu kekerasan yang dilakukan kelompok pro-Indonesia pada periode 1945-1949.
Istilah masa `bersiap` digunakan mereka untuk merujuk kekerasan tersebut — istilah ini tidak dikenal dan tidak pernah dipakai dalam historiografi Indonesia.
Bagi mereka, penelitian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia, 1945-1950 yang disponsori pemerintah Belanda ini, lebih menyoroti kekerasan oleh Tentara Belanda.
Sikap senada juga ditunjukan para veteran Belanda. Sebaliknya, mereka mencurigai riset ini tidak akan menyentuh kekerasan oleh pejuang Indonesia.
"Ini tidak mengenakkan," kata Inspektur Jenderal Angkatan Bersenjata Frank van Sprang, seperti dikutip Telegraf (31/01).
"Hal ini memberi kesan bahwa kekejaman pihak Indonesia belum akan dilihat."
Hans Moll, ketua FIN (Federatie Indische-Nederlands) mengatakan, "perspektif musuh Indonesia, tampaknya dipentingkan."
"Ini tidak adil bagi sejarah dan tidak adil untuk lebih dari 200.000 tentara Belanda yang dikerahkan ke bekas Hindia Belanda.
Hans Moll adalah pemrotes artikel sejarawan Indonesia, Bonnie Triyana yang mengatakan istilah `bersiap` adalah rasis.
Veteran Gerard van der Lee, 92 tahun, khawatir penelitian itu akan memperkuat kutukan moral yang sudah berusia 70 tahun.
Dia merujuk pada tulisan "pembunuh" di tembok pelabuhan Amsterdam saat dia dan rombongan tentara Belanda tiba kembali pada 1950.
"Padahal sudah sepatutnya memulihkan dan berterima kasih atas upaya kami," kata Van der Lee dalam situs Nederlands Veteranen Instituut.
Sebaliknya, veteran bernama Goos Blok mengaku gembira dengan adanya penelitian ini. Dia mengaku kekerasan saat itu merupakan fenomena struktural.
Saat ditugaskan di Bali, antara 1947-1950, dia bertugas sebagai intelijen militer. Dia tidak menampik ambil bagian dalam penyiksaan.
"Saya tidak membunuh, tapi saya memukul dan menyetrum mereka agar mereka mau berbicara," katanya.
Dia melihat tahun-tahunnya di Hindia Belanda dengan kemarahan dan penyesalan.
"Bagi saya perdamaian dimulai dengan keadilan. Dan saya percaya bahwa keadilan dalam hal ini dimulai dengan mengakui bahwa kami salah."
Wawancara sejarawan Belanda, Herman Keppy:
`Saya tidak percaya akan ada permintaan maaf`
Herman Keppy, sejarawan Belanda dan redaktur majalah Maluku Marinjo, rutin memberikan kuliah dan menerbitkan tulisan di berbagai media dan buku.