Revolusi Kemerdekaan: Kekerasan Ekstrem Tentara Belanda dan Indonesia
- bbc
Di sisi lain, menurutnya, para pihak di Indonesia saat ini tidak bisa menutup mata "betapa banyak perbedaan dinamika selama 1945-1949."
"Kita itu tidak homogen dalam menyikapi kedatangan kembali Belanda," ujarnya.
Menurut catatan FIN (Federatie Indische-Nederlands), dalam periode 1945-1949, ribuan orang Belanda disiksa, diperkosa dan dibunuh.
Mereka memperkirakan sekitar 30.000 orang meninggal dan 15 lainnya hilang. Ini tidak termasuk orang-orang Tionghoa, Maluku atau kelompok lain yang dianggap pro-Belanda.
`Ada keluarga Ambon pro-KNIL yang dibunuh dan dibuang ke sumur` — kisah penyelamatan warga Maluku ke Kampung Kramat, Jakarta
Kawasan Kramat di Jakarta menjadi saksi bisu penyelamatan orang-orang Maluku dari amukan massa anti-Belanda pada 1947.
Jopie Taihuttu, berumur 75 tahun, bersama istri dan salah-satu anaknya, menempati rumah yang di depannya tumbuh pohon rindang.
Dia tinggal di Jalan Kramat Tujuh, wilayah yang sejak masa revolusi didiami mayoritas warga Maluku.
Jopie bercerita, setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keluarga-keluarga Maluku itu mulai tinggal di kawasan yang dia tempati sampai sekarang.
Mereka tiba dalam beberapa gelombang setelah muncul kasus orang-orang Maluku terancam keselamatannya.
Hal itu terjadi karena ada tudingan bahwa sebagian mereka menjadi kolaborator Belanda. Jopie kemudian teringat peristiwa horor pada 1947.
"Papa saya cerita, ada keluarga Ambon dibunuh dan dibuang ke sumur," kata Jopie kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, awal Februari 2022.
Dia ingat kejadian ini terjadi di sekitar Jalan Matraman, Jakarta Timur. "Papa saya lari, takut dibunuh," ungkapnya.
Ketika saya bertanya apakah dirinya ingat istilah masa `Bersiap`, Jopie teringat lagi cerita ayahnya.
"Semacam komando untuk menghanguskan orang-orang Ambon yang pro-KNIL," ujarnya.
Untuk menyelamatkan diri, maka orang-orang Maluku, Minahasa dan Timor, yang bermukim di berbagai tempat di Jakarta, berduyun-duyun mengungsi ke wilayah Kramat.
Keluarga ayah Jopie semula tinggal di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur.
Maka, berduyun-duyunlah orang-orang Maluku dan Minahasa memenuhi beberapa jalan di wilayah Kramat.
Pada masanya, ada kira-kira 120 kepala keluarga atau 360 jiwa yang menempati rumah-rumah di kawasan itu.
Ketika orang-orang Maluku itu masuk dan tinggal di rumah barunya, Jopie teringat cerita mertuanya.
Di akhir wawancara, Jopie tidak keberatan apabila ada penelitian tentang kekerasan pada periode 1945-1949, termasuk kekerasan yang dialami orang-orang Maluku.
"Jadi kita tahu duduk perkaranya, tanpa bermaksud politis. Murni sebagai catatan sejarah, bahwa ada peristiwa itu pernah ada," kata Jopie.
Dengan demikian, semua pihak dapat belajar dari catatan sejarah itu supaya tidak terulang lagi di masa depan.