Revolusi Kemerdekaan: Kekerasan Ekstrem Tentara Belanda dan Indonesia
- bbc
Periode 1945-1949: `Kurangnya keterhubungan sejarawan Indonesia dan Belanda`
Begitulah temuan Anne-Lot Hoek di Rengat dan Bali ketika Belanda berusaha bercokol kembali di Indonesia, lebih dari 70 tahun silam.
Dan dua kasus kekerasan ekstrem ini menjadi salah-satu kajian dalam penelitian berskala besar yang dibiayai pemerintah Belanda sejak 2016 lalu.
Hoek dan sejarawan Belanda lainnya, yang melibatkan sejarawan Indonesia dan negara lain, secara bersama melakukan penelitian bertema Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia, 1945-1950.
Dibagi dalam beberapa sub tema, peneliti Belanda dan Indonesia melakukan riset secara mandiri untuk sub tema studi regional.
Dalam situs resminya, para peneliti dari Belanda dan Indonesia mengaku "kurangnya keterhubungan" terkait kekerasan pada periode 1945-1949.
"Hal ini diakibatkan keterbatasan dialog serta kurangnya pengetahuan ihwal ragam dimensi regional dalam pelbagai konflik di periode itu," ungkap mereka.
Berharap menemukan "sudut pandang baru", para sejarawan dari dua negara ini mengadu gagasan dengan saling bertukar sumber-sumber sejarah dan literatur.
"Sehingga dapat dapat diperbandingkan perspektif serta konsep dari kedua pihak." Kegiatan ini juga diharapkan menyumbang materi empiris baru.
Mereka juga berharap penelitian ini dapat memberi kejelasan atas perbedaan sudut pandang terhadap suatu peristiwa, juga tafsirnya masing-masing.
`Kita harus akui Tentara Indonesia juga melakukan kekerasan`
Penelitian ini juga akan menjawab pertanyaan, antara lain, sejauh mana upaya pemerintah Indonesia dan Belanda pada saat itu terkait kekerasan yang dilakukan pihak Belanda dan Indonesia.
Ini artinya penelitian ini bakal menyoroti kekerasan yang dilakukan laskar pejuang di pihak Indonesia pada periode itu.
Isu ini sempat menyedot polemik tajam, karena dalam historiografi Belanda dikenal istilah `bersiap` — kerap ditafsir sebagai masa kekerasan yang dilakukan pihak Indonesia terhadap orang-orang Belanda, Indo, Tionghoa dan Maluku.
Dalam historiografi Indonesia, untuk menyebut masa yang sama, para sejarawan menggunakan istilah masa `berdaulat`.
Abdul Wahid, sejarawan UGM dan koordinator tim penelitian yang dilibatkan dalam riset ini, tidak memungkiri adanya fakta kekerasan yang dilakukan pejuang Indonesia.
"Kekerasan merupakan bagian realitas revolusi. Ini memang harus kita akui ada realitas seperti itu," kata Abdul Wahid kepada BBC News Indonesia (09/02).
Kejadian itu bisa terjadi, menurutnya, sebagai resistensi, perlawanan dan mengusir penjajahan kembali oleh Belanda.
"Jadi itu [kekerasan] yang tidak terhindarkan," ujar Abdul Wahid.
Sejarawan Rusdhy Hoesein juga sependapat dengan Wahid. Dia menyebut berbagai kasus kekerasan dengan korban warga sipil yang dianggap pro-Belanda, tidak dapat dilepaskan dari kehadiran kembali pasukan Belanda.
"Ini revolusi... Ini dalam rangka penyelamatan Indonesia agar jangan kembali dijajah Belanda," kata Rusdhy kepada wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir.
Karena itulah, Abdul Wahid dan Rushdy Hoesein mengatakan perlu melihat secara jernih dengan menilik konteks dan latar belakangnya.
Adapun peneliti arsip di Universitas Amsterdam, Rika Theo, mengatakan, kekerasan oleh pemuda Indonesia di masa Perang Kemerdekaan, tidak terlepas dari "akar panjang" kehadiran kolonialisme Belanda dalam jangka waktu lama.
"Dan juga hirarki yang diciptakan pemerintah kolonial Belanda," kata Rika.