Revolusi Kemerdekaan: Kekerasan Ekstrem Tentara Belanda dan Indonesia
- bbc
Kekerasan ekstrem tentara Belanda selama Agresi Militer 1945-1949 diungkap dalam penelitian terbaru. Namun di sisi lain terungkap aksi serupa juga dilakukan laskar pejuang Indonesia atas warga sipil pro-Belanda. Apakah Indonesia dapat mengakui borok itu?
Pesawat dakota yang membawa pasukan khusus Belanda, terbang rendah di atas kota kecil Rengat, di Sumatera Tengah, 5 Januari 1949, di pagi hari.
Sebanyak 180 tentara Belanda diterjunkan di rawa-rawa di pinggiran kota itu dalam `Operasi Lumpur`.
Satu pesawat tempur `cocor merah` P-15 Mustang, sebelumnya, memuntahkan peluru dan menjatuhkan bom. Warga panik dan sebagian menjadi korban.
Para serdadu itu hendak merebut kompleks pertambangan minyak di pinggiran kota itu dan satu wilayah di dekatnya. Mereka bersenjata lengkap.
Sejumlah saksi mata dan laporan-laporan di Belanda belakangan mengungkapkan para serdadu itu juga membunuh warga sipil.
"Mereka menembak setiap bertemu orang, salah-satu korbannya adalah bupati Indragiri," ungkap Panca Setyo Prihatin, anak salah seorang saksi mata peristiwa itu.
"Dan sebagian korban dijejer dan ditembak mati lalu dibuang ke sungai," kata pria kelahiran 1971 ini kepada BBC News Indonesia, berdasarkan kesaksian ayahnya.
`Sungai dipenuhi bangkai manusia`
"Kata ayah saya, sungai itu dipenuhi bangkai manusia," ungkapnya. "Selama enam bulan, warga tak mau makan ikan."
Sang ayah, Wasmad Rads, adalah anggota laskar pejuang Indonesia ketika serangan itu terjadi. Dia selamat setelah bersembunyi di gorong-gorong.
"Perkiraan ayah saya, setidaknya 1.500 orang ditembak mati, sebagian besar rakyat tidak berdosa," ujarnya. Kesaksian Wasmad kemudian dibukukan dengan judul Lagu Sunyi dari Indragiri (2011).
Setiap tahun warga kota itu memperingati peristiwa kekerasan itu dengan getir. Di kota itu didirikan sebuah tugu dan tertera 186 nama yang meninggal akibat ditembak tentara Belanda.
"Tapi banyak yang tak tercatat, kuburannya tak ada, karena dibuang ke sungai," kata Panca. Ada keluarga korban yang mengaku nama ayahnya tak tertera di tugu, katanya.
Panca berharap pemerintah Belanda mengakui kekerasan berlebihan yang dilakukan tentaranya. "Ini sudah terungkap, tapi tidak ada pengakuan dan pemintaan maaf."
Tindakan brutal tentara Belanda di Rengat, 72 tahun silam itu, rupanya, mengusik nurani jurnalis asal Belanda, Anne-Lot Hoek.
Dia bahkan mendatangi kota Rengat dan mewawancarai beberapa saksi mata — termasuk anak-anak Bupati Indragiri yang mati ditembak.
Di Arsip Nasional di Den Haag, Anne menemukan dokumen bahwa pemerintah Belanda melakukan penyelidikan internal atas peristiwa Rengat, tak lama setelah kejadian.
`Ada perempuan ditembak mati bersama bayi yang digendongnya`
Dari keterangan sejumlah saksi mata di tempat kejadian, penyelidikan itu menyebut jumlah orang yang meninggal ada 120 orang, akibat "insiden" dan "situasi yang lepas kendali".
Dan, "84 orang yang ditembak mati adalah orang tak bersenjata, dan 36 orang `bersenjata`." Dalam daftar kematian itu, ada nama Bupati Indragiri.
Angka ini berbeda dengan keterangan Panca Setyo dan angka yang tertera di tugu peringatan. Menurut Anne, angka 120 itu yang menjadi rujukan resmi pemerintah Belanda.
Temuan Anne juga mengungkapkan, seorang warga sipil dibunuh dan anaknya yang berumur 24 tahun diperkosa tentara Belanda.
Keterangan seorang pria menyebutkan pula bahwa anak perempuannya berusia 16 tahun dan sedang hamil ditembak mati. Rumahnya juga dijarah.