4 dari 5 Perempuan Alami Pelecehan Seksual di Ruang Publik, Survei
- bbc
Ruang publik belum menjadi ruang yang aman dari pelecehan seksual selama pandemi di Indonesia, menurut hasil survei terbaru dari koalisi organisasi perempuan. Bahkan, ruang tempat terjadinya pelecehan seksual menjadi semakin beragam.
Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menemukan bahwa selama pandemi, sekitar empat dari lima perempuan mengalami pelecehan seksual di ruang publik.
Pelecehan seksual juga dialami tiga dari sepuluh laki-laki, dan empat dari lima orang dengan identitas gender lain seperti transgender dan non-biner.
KRPA terdiri dari lima organisasi perempuan - Hollaback! Jakarta, Jakarta Feminist, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, dan Dear Catcallers Indonesia.
Survei yang dilakukan pada November hingga Desember 2021 itu diikuti 4.236 responden dari 34 provinsi di Indonesia, dengan rentang usia responden 16-24 tahun.
Dalam survei terbaru ini, KRPA mengidentifikasi lokasi terjadinya pelecehan, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Mereka menemukan bahwa, kendati diberlakukan pembatasan sosial, lebih dari 2.000 responden melaporkan pelecehan seksual di ruang publik umum, seperti jalanan umum dan taman.
Bahkan, selama pandemi insiden pelecehan seksual terjadi di lokasi-lokasi lain seperti fasilitas kesehatan dan tempat tes Covid-19.
Â
Pelecehan saat belajar virtual
Â
Sebanyak 100 responden melaporkan mengalami pelecehan seksual di fasilitas kesehatan, 29 di tempat pemeriksaan tes Covid-19, dan 5 di tempat karantina.
"Saat pandemi, banyak sekali masyarakat yang mengakses ruang-ruang seperti ini yang ternyata itu bukan menjadi ruang aman," kata Anindya Restuviani, program director Jakarta Feminis dan co-director Hollaback! Jakarta dalam sebuah konferensi virtual, Senin (31/01).
Sementara itu, seiring kegiatan belajar-mengajar (KBM) berpindah dari dunia nyata ke dunia maya, institusi pendidikan belum aman dari pelecehan seksual. Sebanyak 427 responden menyebutkan mereka mengalami pelecehan di kampus sekolah dan 57 mengalaminya saat KBM virtual.
Menurut Anindya, mayoritas responden mengatakan pelecehan yang dialami memperparah situasi atau perasaaan mereka selama pandemi.
"Jadi ini perlu di-highlight, saat kita tidak memiliki ruang aman di ruang publik, maupun ruang privat secara tidak langsung, itu memperparah situasi pandemi bagi mereka yang mengalami pelecehan itu," kata Anindya.
Didefinisikan sebagai perlakuan atau perhatian bersifat seksual yang tidak diinginkan, ada beragam bentuk pelecehan seksual yang dibagi ke dalam dua kategori - offline dan online.
Bentuk pelecehan offline yang paling banyak dilaporkan ialah siulan, komentar atas tubuh, komentar seksual, dan sentuhan.
Sedangkan bentuk pelecehan online termasuk pengiriman video atau foto intim, komentar seksis, komentar atas tubuh, pemaksaan untuk mengirimkan video atau foto intim pribadi, hingga penguntitan di dunia maya alias cyberstalk.
Menanggapi survei KRPA, Ellen Kusuma dari SAFEnet mengatakan hasil survei tersebut sesuai dengan temuan organisasinya pada awal 2021. Namun, perihal lokasi pelecehan di ruang maya, SAFEnet menemukan itu lebih banyak terjadi di aplikasi chat.
Menurut Ellen, pelecehan di aplikasi chat biasanya melibatkan pengancaman sedangkan pelecehan di media sosial lebih sering berupa eskalasi kekerasan, termasuk penyebaran konten intim.
"Laporan paling banyak kami terima tentang penyebaran konten intim non-konsensual yang kami sebut cyber-flashing atau digital exhibitionism," kata Ellen.
SAFEnet juga menemukan salah satu modus pelecehan baru di aplikasi chat, terutama yang anonim, yaitu penyebaran nomor ponsel korban yang disertai narasi "open BO" alias prostitusi.
Â
Mematahkan `mitos` pelecehan seksual
Â
Pada 2018, KRPA melakukan survei serupa yang diikuti 62.224 orang dari seluruh Indonesia. Sebagian hasil survei tersebut dianggap masih relevan dengan kondisi saat ini.
Siti Aminah Tardi, komisioner Komnas Perempuan, mengatakan temuan-temuan dalam survei KRPA membantu mematahkan mitos-mitos tentang pelecehan seksual yang selama ini dipercayai publik.
Misalnya, mitos bahwa pelecehan seksual terjadi pada malam hari dan di tempat sepi. Survei menunjukkan bahwa kebanyakan pelecehan justru terjadi pada siang hari dan di tempat terbuka.
Survei pada 2018 juga menanyakan tentang pakaian yang dikenakan korban saat mengalami pelecehan seksual. Ternyata, tidak seperti anggapan pada umumnya, kebanyakan korban pelecehan seksual tidak mengenakan pakaian yang terbuka.
"Hal ini memperlihatkan bahwa pelecehan seksual itu bukan sesuatu yang harus dinormalkan tetapi ini adalah sesuatu yang ternyata berdampak terhadap perempuan, termasuk pengurangan kemampuan perempuan untuk menikmati hak asasi di ruang publik maupun ruang siber," kata Ami.
Lebih lanjut, Ami mengatakan bahwa hasil survei ini menguatkan argumen tentang urgensi membahas dan mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). RUU tersebut menjadikan pelecehan seksual sebagai tindak pidana, termasuk pelecehan berbasis teknologi informasi.
Sementara itu, untuk mencegah pelecehan seksual di ruang publik, Ami menekankan perlunya membangun infrastruktur yang membangun rasa aman misalnya lampu jalan dan CCTV serta mengajak partisipasi publik.
"Untuk menegur, tidak membenarkan, dan tidak mengglorifikasi pelecehan seksual baik di dunia nyata maupun di dunia maya," ujarnya.