Rusia Memandang Uni Eropa Sebelah Mata di Krisis Ukraina, Mengapa
- ANTARA FOTO/Ukrainian Presidential Press Service/Handout via REUTERS/rwa/sad/aa.
VIVA – Pascatiga minggu sejak pembicaraan diplomatik untuk meredakan krisis di Ukraina, pasukan Rusia masih ditempatkan siaga di perbatasan Ukraina dan Rusia pada Kamis, 27 Januari 2022.
Sementara Rusia tetap membantah rencana untuk menyerang Ukraina. Pejabat AS dan NATO juga telah menghidupkan kembali rencana militer mereka untuk mempersiapkan semua kemungkinan yang bisa terjadi.
Namun para pemimpin Uni Eropa tetap terbagi sudut pandangnya dalam mencegah Kremlin melakukan penyerangan terhadap Ukraina.
Para pejabat Uni Eropa telah mengeluh karena dikesampingkan dari keputusan besar di Ukraina. Kepala Kebijakan Luar Negeri blok itu yakni Josep Borrell menyatakan bahwa setiap diskusi tentang keamanan Eropa harus melibatkan Uni Eropa dan Ukraina.
Kemudian Presiden Prancis Emmanuel Macron telah meminta Uni Eropa untuk menyelesaikan proposal untuk bernegosiasi dengan Rusia.
Berbicara kepada anggota Parlemen Eropa (MEP) di Strasbourg pekan lalu, Macron mengatakan rencana keamanan dan stabilitas harus menjadi prioritas dibangun di antara Eropa dan sekutunya NATO.
Pada kenyataannya, tidak setiap negara di Uni Eropa sepakat dengan Presiden Emmanuel Macron. Beberapa negara diketahui memiliki sejarah bermasalah dengan Rusia dan lebih memilih respons transatlantik dibandingkan proposal Uni Eropa.
Sementara Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy telah meminta Uni Eropa untuk menjaga persatuan semua negara anggota UE dalam melindungi kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina.
Adanya sikap yang berbeda di antara negara-negara Eropa diduga telah membuat Rusia meremehkan kekuatan geopolitik Uni Eropa. Hal itu sebagaimana menurut Ivana Stradner yakni seorang peneliti di American Enterprise Institute yang bekerja di Rusia dan keamanan siber, dilansir Aljazeera.
“Keputusan Kremlin untuk menghilangkan penyebutan Uni Eropa dalam Strategi Keamanan Nasional 2021 menunjukkan bahwa Moskow tidak lagi menganggap UE sebagai aktor penting dalam kebijakan luar negeri,” kata Stradner.