Rusia Ogah Bikin Konsesi soal Ukraina di Bawah Tekanan AS
- ANTARA/Reuters/Maxim Shemetov/as)
VIVA – Rusia mengatakan pada Minggu (9/1) bahwa pihaknya tidak akan membuat konsesi di bawah tekanan Amerika Serikat dan memperingatkan bahwa pembicaraan pekan ini tentang krisis Ukraina mungkin berakhir lebih awal.
Sementara itu, Washington DC mengatakan tidak ada terobosan seperti yang diharapkan dan kemajuan bergantung pada peredaan ketegangan dari Moskow.
Sikap keras Moskow menggarisbawahi prospek negosiasi yang rapuh. Washington berharap negosiasi itu akan mencegah bahaya invasi baru Rusia ke Ukraina. Invasi menjadi masalah paling menegangkan dalam hubungan AS-Rusia sejak Perang Dingin berakhir tiga dekade lalu.
Pembicaraan dimulai pada Senin di Jenewa sebelum pindah ke Brussel dan Wina, tetapi kantor berita milik negara Rusia RIA mengutip Wakil Menteri Luar Negeri Sergei Ryabkov yang mengatakan sangat mungkin diplomasi dapat berakhir setelah satu pertemuan.
"Saya tidak dapat mengesampingkan apa pun, inilah skenario yang sangat mungkin dan orang-orang Amerika itu ... seharusnya tidak memiliki ilusi tentang hal ini," katanya seperti dikutip RIA.
"Tentu saja, kami tidak akan membuat konsesi di bawah tekanan" atau di tengah ancaman terus-menerus dari para peserta pembicaraan, kata Ryabkov, yang akan memimpin delegasi Rusia di Jenewa.
Moskow tidak optimistis menyongsong pembicaraan-pembicaraan itu, kata kantor berita Interfax mengutip Ryabkov.
Prognosis AS juga suram
"Saya pikir kami tak akan melihat terobosan dalam minggu mendatang," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam sebuah wawancara CNN.
Menanggapi tuntutan Rusia untuk jaminan keamanan Barat, AS dan sekutunya mengatakan mereka siap untuk membahas kemungkinan masing-masing pihak membatasi latihan militer dan penggunaan rudal di wilayah tersebut.
Kedua belah pihak akan mengajukan proposal dan kemudian melihat apakah ada alasan untuk melanjutkan pembicaraan, kata Blinken.
"Untuk membuat kemajuan nyata, sangat sulit untuk melihat kemajuan itu terjadi ketika ada eskalasi yang sedang berlangsung, ketika Rusia menodongkan senjata ke kepala Ukraina dengan 100.000 tentara di dekat perbatasannya," kata Blinken dalam sebuah wawancara dengan ABC News.
Menjelang pembicaraan formal, Wakil Menteri Luar Negeri AS Wendy Sherman bertemu dengan Ryabkov pada Minggu di Jenewa dan mengatakan kepadanya bahwa Washington "akan menyambut kemajuan sesungguhnya melalui diplomasi," kata Departemen Luar Negeri.
Ryabkov mengatakan kepada wartawan bahwa pertemuannya dengan Sherman "kompleks tapi lugas," kata Interfax.
Puluhan ribu tentara Rusia ditempatkan di dekat perbatasan dengan Ukraina dalam persiapan untuk bisa menjadi invasi --seperti dikatakan Washington dan Kiev. Delapan tahun lalu Rusia merebut semenanjung Krimea dari Ukraina.
Komentar Ryabkov, yang membandingkan situasi itu dengan krisis misil Kuba 1962 ketika dunia berada di ambang perang nuklir, konsisten dengan sikap tanpa kompromi yang telah diisyaratkan Rusia selama berminggu-minggu.
Rusia membantah rencana invasi dan mengatakan pihaknya menanggapi apa yang disebutnya perilaku agresif dan provokatif dari aliansi militer NATO dan Ukraina, yang telah condong ke Barat dan bercita-cita untuk bergabung dengan NATO.
Semakin memperumit keadaan, Rusia mengirim pasukan ke Kazakhstan, negara tetangga, pekan lalu setelah bekas republik Soviet penghasil minyak itu dilanda gelombang kerusuhan.
Kementerian luar negeri Rusia bereaksi keras pada Sabtu terhadap cemoohan Blinken bahwa "begitu orang-orang Rusia ada di rumahmu, terkadang sangat sulit menyuruh mereka pergi."
Garis merah
Bulan lalu, Rusia mengajukan serangkaian tuntutan, termasuk larangan ekspansi NATO lebih lanjut dan diakhirinya aktivitas aliansi itu di negara-negara Eropa tengah dan timur yang bergabung setelah 1997.
AS dan NATO telah menolak sebagian besar proposal Rusia karena dinilai tak efektif.
AS tidak bersedia membahas penarikan beberapa pasukan dari Eropa timur atau mengesampingkan perluasan NATO untuk memasukkan Ukraina, kata Blinken.
Mengabaikan tuntutannya untuk agenda yang lebih terbatas akan menjadi kemunduran besar yang tampaknya tidak mungkin dilakukan Rusia, terutama setelah berminggu-minggu menggerakkan pasukannya di dekat Ukraina dan serangkaian pernyataan keras dari Presiden Vladimir Putin.
Pemimpin Kremlin itu telah mengatakan bahwa setelah gelombang ekspansi NATO yang berturut-turut, inilah saatnya bagi Rusia untuk menegakkan "garis merah" dan memastikan aliansi tersebut tidak mengakui Ukraina atau menempatkan sistem senjata di sana yang akan menargetkan Rusia.
Ukraina memperoleh pemenuhan janji NATO pada 2008 bahwa mereka akan diizinkan untuk bergabung suatu hari nanti, tetapi para diplomat mengatakan tidak ada masalah tentang hal itu yang akan terjadi dalam waktu dekat.
NATO mengatakan pihaknya adalah aliansi pertahanan dan Moskow tidak perlu takut akan hal itu. Aliansi itu jauh dari pandangan dunia Putin, yang melihat Rusia berada di bawah ancaman dari kekuatan Barat yang bermusuhan, yang katanya telah berulang kali melanggar janji --yang diberikan ketika Perang Dingin berakhir-- untuk tidak meluas ke perbatasannya. AS dan sekutunya membantah memberikan janji semacam itu.
Dalam dua percakapan dalam lima minggu terakhir, Presiden AS Joe Biden memperingatkan Putin bahwa Rusia akan menghadapi sanksi ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya jika terjadi agresi lebih lanjut terhadap Ukraina. Negara-negara Kelompok Tujuh dan Uni Eropa telah bergabung untuk mengeluarkan ancaman "konsekuensi besar."
Putin mengatakan ancaman itu akan menjadi kesalahan besar yang akan menyebabkan putusnya hubungan.
Selain pembicaraan Jenewa, Rusia juga akan mengadakan negosiasi dengan NATO di Brussel pada Rabu dan di Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa di Wina pada Kamis. (Ant/Antara)
Â