PM Sudan Mengundurkan Diri Setelah Gagal Pulihkan Pemerintahan Sipil
VIVA – Perdana Menteri Sudan, Abdalla Hamdok, mengatakan pada Minggu 2 Januari 2021 mengundurkan diri, enam pekan setelah kembali ke jabatannya dalam kesepakatan dengan para pemimpin kudeta militer. Dalam kesepakatan itu Hamdok mengatakan bahwa dia dapat menyelamatkan transisi menuju demokrasi.
Hamdok, yang gagal membentuk pemerintahan saat protes berlanjut terhadap pengambilalihan militer pada Oktober, mengatakan perundingan dengan berbagai pihak yang berkepentingan diperlukan untuk menghasilkan kesepakatan baru untuk transisi politik Sudan.
"Saya memutuskan untuk mengembalikan tanggung jawab dan mengumumkan pengunduran diri saya sebagai perdana menteri, dan memberikan kesempatan kepada siapa pun dari negara mulia ini untuk ... membantu negara ini melewati masa transisi menuju negara sipil yang demokratis," kata Hamdok dalam pidato yang disiarkan televisi.
Pengumuman itu membuat masa depan politik Sudan semakin dalam ke arah ketidakpastian, tiga tahun setelah pemberontakan yang menyebabkan penggulingan pemimpin lama Omar al-Bashir.
Sebagai seorang ekonom dan mantan pejabat PBB yang dihormati secara luas oleh masyarakat internasional, Hamdok menjadi perdana menteri di bawah perjanjian pembagian kekuasaan antara militer dan warga sipil setelah penggulingan Bashir.
Digulingkan dan ditempatkan di bawah tahanan rumah oleh militer selama kudeta pada 25 Oktober, dia diangkat kembali pada November.
Namun kesepakatan atas kembalinya ke posisi PM dikecam oleh banyak orang di koalisi sipil yang sebelumnya mendukungnya. Pengunjuk rasa yang terus mengadakan demonstrasi massal menentang kekuasaan militer.
Dalam unjuk rasa mutakhir pada Minggu, beberapa jam sebelum pidato Hamdok, pasukan keamanan menembakkan gas air mata ke demonstran di Khartoum ketika pengunjuk rasa bergerak menuju istana presiden.
Sedikitnya dua orang tewas, menjadikan 56 korban tewas dalam protes sejak kudeta 25 Oktober, kata komite dokter yang bergabung dengan gerakan protes.
Di antara reformasi ekonomi yang dijalankan Hamdok adalah penghapusan subsidi bahan bakar yang mahal dan devaluasi mata uang yang tajam. Itu memungkinkan Sudan untuk memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan utang luar negeri setidaknya 56 miliar dolar AS (Rp797 triliun) . Namun kesepakatan atas bantuan utang itu mengalami ketakpastian akibat kudeta. Kudeta itu juga membekukan dukungan ekonomi Barat yang luas untuk Sudan.
Sekembalinya sebagai perdana menteri pada November, Hamdok mengatakan ingin mempertahankan langkah-langkah ekonomi yang diambil oleh pemerintah transisi dan menghentikan pertumpahan darah setelah meningkatnya jumlah korban akibat penumpasan terhadap protes. (Ant/Antara)