Suboxone di Pasar Gelap: Program Memutus Adiksi Narkoba Jadi Masalah
- bbc
Namun, seorang pegiat anti-narkoba berpendapat, celah penyalahgunaan Suboxone yang saat ini terjadi bermuara pada kurang tepatnya kebijakan pemerintah dalam mendistribusikan buprenorfin.
Obat ini sejak awal diedarkan dengan pendekatan komersial atau profit, kata Patri Handoyo, pengurus Rumah Cemara, organisasi yang menjalankan program pelayanan bagi orang yang bermasalah dengan konsumsi obat-obatan.
Saat izin dari Badan POM keluar, ujar Patri, peredaran Suboxone diarahkan ke jalur-jalur praktek dokter swasta tanpa adanya HET (harga eceran tertinggi) dan pedoman distribusi obat yang baik.
"Memang, di peraturan Badan POM 2002 itu ada aturannya. Misalnya dokter yang meresepkan buprenorfin harus memastikan pasiennya meminum obat di depan dia. Tapi kemudian dokter tidak peduli yang penting obat laku," ungkap Patri.
Setelah buprenorfin digolongkan sebagai Narkotika golongan III, kata dia, masalah tak kemudian selesai.
Sesuai undang-undang, impor narkotika hanya bisa dilakukan oleh perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah mendapat izin menteri kesehatan. Ini berarti, importir buprenorfin harus dialihkan dari perusahaan swasta ke BUMN, dalam hal ini Kimia Farma.
Langkah selanjutnya, pemerintah membatasi distribusi Suboxone dengan menunjuk sejumlah layanan kesehatan rehabilitasi narkoba yang bisa menyalurkan narkotika tersebut.
Kebijakan itu, menurut Patri, membuat peredaran gelap bukson semakin menjadi-jadi. Ia menyebut, pemerintah seperti sengaja "mencari laba" dan bukan "mengatasi masalah narkoba dan kecanduan heroin".
Padahal, ia melanjutkan, Suboxone versi generik telah diproduksi oleh sejumlah perusahaan farmasi di sejumlah negara, antara lain Australia, Amerika Serikat, dan India, sejak 2013.
"Dengan impor generik, harga obat jadi bisa ditekan," sebut penulis buku berjudul Menggugat Perang terhadap Narkoba dan War on Drugs: Refleksi Transformatif Penerapan Pemberantasan Narkoba di Indonesia.
Menurut Patri, BNN maupun KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) juga bisa mendorong pemerintah pusat agar Indonesia memproduksi sendiri tablet buprenorfin dan nalokson generik.
Patri juga menyebut, pengawasan yang diperketat tanpa menghapus motif profitnya tetap akan menyuburkan peredaran buprenorfin oleh mereka yang hanya ingin "mengeruk laba".
"Kajian Kementerian Kesehatan RI dan WHO pada 2011 menunjukkan, karena harganya yang mahal, dosis yang diterima menjadi kurang adekuat untuk mencapai dosis terapi. Hal tersebut membuat pasien lebih memilih menyuntikkan buprenorfin dengan alasan penghematan," tulis Patri di situs Rumah Cemara.
Sebagai gambaran, satu butir Suboxone 8mg, jika dikonsumsi oral hanya bisa untuk satu kali minum, tapi bila disuntikkan, bisa untuk delapan hingga 16 kali suntik.
Pada 2010, survei perilaku terhadap 3.321 orang yang mengakses layanan pengurangan dampak buruk konsumsi narkoba di wilayah Jawa dan Bali dalam lima tahun terakhir menunjukkan, zat yang paling banyak disuntikkan adalah buprenorfin.
Pendekatan kesehatan masyarakat
Secara umum, Patri menyebut paradigma penggunaan Suboxone di Indonesia harus berubah.
"Harus diubah menjadi paradigma kesehatan masyarakat, sehingga obat bisa disediakan di fasilitas-fasilitas kesehatan negara. Harganya pun bisa lebih terkontrol,"
Patri membandingkannya dengan program terapi rumatan Metadon yang pendekatannya memakai paradigma kesehatan masyarakat.