Pfizer akan Gantikan Astrazeneca Pasok Vaksin ke Negara-negara Miskin

Kedatangan vaksin tahap 81 sebanyak 453.960 dosis vaksin jadi Pfizer
Sumber :

VIVA – Pfizer dan BioNtech akan menggantikan AstraZeneca sebagai pemasok utama vaksin COVID-19 bagi program global COVAX di awal 2022, sebuah perubahan yang menunjukkan makin pentingnya suntikan mereka bagi negara-negara miskin.

Presiden Vietnam Sampai Uber Prabowo Subianto Demi Bisa Foto Bersama Menterinya

Perubahan yang diperkirakan akan terjadi itu menimbulkan permasalahan bagi negara-negara penerima yang kekurangan kapasitas penyimpanan dingin untuk menyimpan vaksin Pfizer, di tengah risiko kurangnya stok alat suntik yang diperlukan untuk melakukan vaksinasi.

Saat ini vaksin buatan AstraZeneca merupakan yang paling banyak didistribusikan oleh COVAX, menurut datia dari Gavi, aliansi yang mengelola COVAX bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Penyaluran Bansos Disetop Sementara Selama Pilkada 2024, Ini Respons Pemprov Jakarta

Sejauh ini, program tersebut telah mendistribusikan lebih dari 600 juta suntikan bagi hampir 150 negara dengan lebih dari 220 juta vaksin buatan AstraZeneca dan 160 juta vaksin Pfizer.

Namun, pada kuartal pertama tahun depan, Pfizer dijadwalkan untuk menggantikan posisi AstraZeneca, menurut angka dari Gavi dan WHO terkait dengan dosis yang diatur oleh program COVAX untuk pasokan pada masa mendatang.

MK: Pejabat Daerah dan TNI/Polri Tak Netral di Pilkada Bisa Dipidana

Pada akhir Maret, 150 juta dosis Pfizer akan didistribusikan oleh COVAX, menurut dokumen WHO.

Seorang juru bicara Gavi mengonfirmasi bahwa Pfizer berada di posisi lebih unggul terkait dengan suntikan yang "sudah dialokasi" dengan sekitar 470 dosis yang dikirimkan atau siap dikirimkan, dibandingkan dengan 350 juta dari AstraZeneca.

Pfizer merupakan penyedia vaksin COVID-19 pertama untuk Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.

Perusahaan itu telah memiliki sejumlah kesepakatan bilateral dengan jumlah lebih dari enam miliar dosis, dan menjadikan Pfizer sebagai pemasok vaksin COVID-19 tersbesar, menurut data UNICEF yang merupakan badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Namun, AstraZeneca telah dilihat sebagai pemasok penting ke negara-negara berkembang, mengingat vaksinnya lebih murah dan mudah untuk dikirim.

Pada awal pandemi, COVAX banyak memiliki keyakinan besar terhadap AstraZeneca. Namun, permasalahan terkait dengan pasokan dan larangan ekspor dari India sebagai produsen secara bertahap menurunkan kepercayaan terhadap AstraZeneca.

Saat COVAX menghadapi masalah dalam mengamankan vaksin langsung dari para produsen di tengah kesulitan global untuk mendapatkan suntikan, donasi dari negara-negara maju menjadi semakin penting, menjadikan Pfizer sebagai pemasok utama COVAX. Amerika Serikat kebanyakan memberikan hibah vaksin Pfizer ke program tersebut.


Rantai Dingin dan Alat Suntik

Perubahan itu mendorong Gavi untuk cepat-cepat berinvestasi untuk kapasitas rantai dingin di negara-negara penerima yang tidak memiliki lemari pendingin dan transportasi dengan alat pendingin untuk menyimpan suntikan vaksin Pfizer, yang membutuhkan penyimpanan dengan temperatur lebih rendah dibandingkan vaksin AstraZeneca.

Organisasi itu telah memperingatkan terkait dengan kapasitas rantai dingin yang tidak memadai di beberapa negara, menurut sebuah laporan internal yang diberikan kepada dewan Gavi pada awal Desember dan dilihat oleh Reuters.
Gavi memperingatkan dalam dokumen tersebut bahwa masalah itu diperparah oleh risiko kekurangan jarum suntik khusus yang diperlukan untuk mengelola vaksin Pfizer.

"Suntikan Pfizer adalah yang paling sulit untuk didistribusikan, mengingat perlunya rantai ultradingin dan persyaratan jarum suntik khusus," kata Gavi dalam dokumen internalnya.

Dalam dokumen itu disebutkan, "Ini juga yang paling sulit untuk direncanakan karena ini (vaksin yang disumbangkan) sering datang dengan sedikit pemberitahuan atau dengan cara yang tidak stabil dan dalam volume kecil dan dengan umur simpan yang pendek."

Negara-negara kaya yang menyumbangkan vaksin COVID-19 dengan masa simpan yang relatif singkat telah menjadi "masalah besar" bagi COVAX, kata seorang pejabat WHO pekan lalu, karena banyak dosis yang terbuang.

Seorang pejabat Uni Eropa mengatakan dalam sebuah pengarahan pers pekan lalu bahwa donasi vaksin Pfizer EU kepada COVAX menjadi terhambat akibat kurangnya jarum suntik. Seorang pejabat lain yang memahami isu tersebut mengatakan pada Reuters bahwa Gavi telah harus menunda pengiriman sejumlah dosis Pfizer dari Eropa akibat kekurangan jarum suntik.

Pfizer menolak untuk memberikan komentar terkait dengan jarum suntik karena mereka tidah memproduksi atau membelinya secara langsung.
Mengingat lebih banyak dosis tersedia untuk negara-negara miskin, UNICEF dan WHO telah lama memperingatkan akan kurangnya pasokan jarum suntik yang dapat di nonaktifkan secara otomatis, yang sangat penting untuk inokulasi di negara-negara miskin.

Jarum suntik yang dapat dihentikan otomatis dapat mengunci secara otomatis untuk mencegah penggunaan kembali, yang biasanya terjadi di negara-negara miskin dan dapat menyebarkan penyakit. (Ant/Antara)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya