Cerita Keturunan Papua yang Kehilangan Tanah Air
- bbc
Meski begitu, sejumlah dokumen, salah satunya laporan jurnalistik yang mendokumentasikan ajang itu, menyebut terjadi proses yang tidak adil dan intimidasi dalam referendum Papua Barat.
Merujuk hasil Perpera, Papua Barat akhirnya menjadi bagian dari NKRI.
"Saya tidak dianggap orang Papua, tidak juga diakui sebagai orang Belanda"
Ayah saya, bersama saudara kandung dan ibunya, datang ke Belanda tahun 1962. Mereka harus melarikan diri dari Papua karena mereka takut menghadapi invasi Indonesia. Kakek dan saudara tertua ayah saya menyusul ke Belanda satu tahun berikutnya.
Saat itu situasi mulai berbahaya bagi orang-orang di Papua. Kakek saya bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda. Itulah alasan kenapa dia dan keluarganya pindah ke sini. Kakek cemas dia akan dibunuh atau setidaknya disiksa jika ditangkap.
Mereka datang ke Belanda lewat jalur udara. Ayah selalu bercerita tentang peristiwa itu, bahwa dia naik pesawat Dakota.
Hari-hari setelah tiba di Belanda sangat berat bagi ayah saya. Waktu itu cuaca sangat dingin—salah satu musim dingin terburuk pada masa itu. Anda bisa bayangkan, seseorang yang terbiasa hidup di kawasan tropis tiba-tiba hidup di tengah musim dingin.
Kakek datang tanpa membawa apapun. Dia kehilangan semua kepemilikannya. Keluarganya tidak mempunyai apapun, kecuali komunitas Papua yang sudah mengungsi lebih dulu.
Tapi kehidupan mereka saat itu juga tidak mudah karena diskriminasi. Bagi saya, ayah adalah laki-laki kulit putih karena kakek saya keturunan Belanda, sedangkan nenek asli Manado.
Kakek lahir di sini, lalu datang ke Hindia Belanda pada dekade 1920-an. Namun ayah tetap menghadapi perundungan. Sangat sulit baginya beradaptasi dengan kehidupan baru.
Keluarga ayah dulu tinggal di Kaimana. Mereka berbicara dalam bahasa Melayu Papua dan Melayu Maluku. Saaat ayah pindah ke Belanda, dia terganjal bahasa.
Ayah juga sulit beradaptasi dengan lingkungan. Di Papua, dia tinggal dalam masyarakat yang terbuka.
Ketika dewasa, ayah bergaul erat dengan komunitas Papua. Dia turut serta dalam unjuk rasa terkait Papua di Den Haag.
Pada 1995, ayah dan ibu menikah di Papua. Ibu saya keturunan Biak. Ibu ikut pindah ke Belanda setahun setelahnya.
Dan saya pun lahir di Belanda. Di rumah, ibu selalu mengajari kami untuk berbicara dalam Bahasa Melayu. Dari situ saya mulai mengerti identitas saya dan alasan mengapa saya berbeda dengan anak-anak lain di sekolah.
Saya satu-satunya anak dengan kulit berwarna di kawasan tempat tinggal kami. Sulit untuk beradaptasi dengan situasi itu. Saya bisa berbahasa Belanda, tapi saat ingin mengungkapkan perasaan, saya memakai bahasa Melayu. Tidak ada yang memahami apa yang saya katakan.
Nama saya juga terdengar sangat `putih`. Ketika saya menghadiri wawancara kerja, wajah orang-orang di kantor itu berubah begitu melihat saya datang. Mereka mungkin mengira saya orang berkulit putih.
Pelan-pelan saya mempelajari sejarah keluarga bahwa kami memiliki darah Biak. Saya berusaha mengerti adat-istiadat, lagu, dan juga bahasa Biak.
Tanggal 1 Desember adalah momen di mana saya selalu belajar lebih dan akhirnya mengetahui beragam peristiwa yang terjadi di Papua, termasuk kenapa banyak orang tidak tahu-menahu tentangnya.
Sulit bagi saya melihat identitas diri. Bagi orang-orang di sini, saya bukan laki-laki Belanda. Tapi saat saya datang ke Papua, saya tidak dilihat sebagai orang Papua.
Namun saya melihat diri saya sebagai orang Papua. Leluhur saya ada di Biak. Namun saya juga berakar pada keluarga di Belanda dan Manado.
Saya selalu menyebut diri sebagai orang Papua karena faktor ibu dan budaya yang diajarkan kepada saya—yang akhirnya saya hidupi.
Benar bahwa saya memiliki privilese. Saya tidur di bawah atap dan selalu ada makanan di meja makan. Banyak orang di Papua tidak merasakan itu.
Bersama Julia Jouwe, tiga tahun lalu saya membuat wadah bernama Young Papua Collective. Kami ingin menyatukan generasi ketiga Papua di Belanda.
Banyak perbedaan pemikiran antara generasi tua Papua di Belanda. Banyak dari mereka akhirnya keluar dari komunitas. Kami ingin anak-anak muda, apapun ideologi mereka, bisa bersatu.
Sedikit dari generasi saya yang mengerti tradisi, bahasa, lagu, dan cerita tentang Papua. Mereka tidak pernah bersentuhan dengan itu. Saya beruntung tumbuh di dalam komunitas sehingga tahu sedikit tentangnya.
Seperti kata tete (kakek) Markus Kaisepo, "kita tetap harus bersatu karena kita punya satu tujuan. Tujuan ini untuk Papua."
Orang Papua di Belanda semakin berkurang. Kalau kami hidup sembarangan, identitas dan adat akan hilang. Semua orang muda akan lupa.
Jadi walau ideologi berbeda, termasuk kalau ada yang mendukung Indonesia, masuk komunitas ini juga tidak masalah. Markus Kaisepo bilang, "biar kamu orang Papua asli, China, Jawa, orang apa saja, kalau kamu punya hati untuk Papua, kamu juga orang Papua".
`Kematian kakek membuka mata saya tentang Papua`
Julia Jouwe adalah generasi ketiga eksil Papua di Belanda. Kakek dari garis ayahnya adalah Nicholaas Jouwe, pendesain Bendera Bintang Kejora sekaligus pembentuk cikal bakal Organisasi Papua Merdeka.
Namun bukan hanya Papua yang mengalir dalam darah Julia. Neneknya, Louise Louinara, adalah perempuan keturunan Belanda-Jawa. Ibunya, Inggrid van Bilzen, merupakan perempuan asal Belanda.
Julia berpikir ulang ketika kami bertanya apakah dia merupakan seorang eksil Papua di Belanda. Menurutnya, istilah yang tepat untuk mendeskripsikan dirinya adalah diaspora.