Cerita Keturunan Papua yang Kehilangan Tanah Air
- bbc
Dewan Nugini lalu menggelar sayembara. Nicholaas, kata Nancy, adalah salah satu orang yang mengajukan desain bendera Papua. Bendera itu terdiri dari sebuah bintang berlatar merah menyala di sebelah kiri. Di sisi kanan terdapat tujuh garis biru dan enam garis putih.
Garis biru menyimbolkan tujuh suku besar, sedangkan garis putih merujuk gagasan enam provinsi yang bakal dibentuk setelah kemerdekaan.
Desain Bendera Bintang Kejora dimaknai berbeda oleh berbagai kalangan. Seorang anggota Dewan Nugini, Markus Kaisepo, misalnya, menilai bahwa warna merah, putih, biru merujuk pada Koreri—kepercayaan dalam mitologi Biak. Ketiganya, kata Markus, menyimbolkan keyakinan, kedamaian, dan keberanian.
Markus mengatakan ini dalam buku yang disusunnya bersama antropolog Australia, Nonie Sharp, The Morning Star in Papua Barat.
Pada akhirnya desain Nicholaas memenangkan sayembara. Bendera Bintang Kejora berkibar pertama kali pada 1 Desember 1961. Pada momen itu pemerintah kolonial Belanda juga meresmikan pergantian nama Nugini Belanda menjadi Papua Barat.
Namun konfrontasi yang dilakukan pemerintah Indonesia mengubah segalanya. Pertempuran bersenjata pun pecah antara Belanda dan Indonesia.
Pada Januari 1962 pertempuran di Laut Arafuru berlangsung. Tujuh bulan setelahnya Nicholaas, Louise, dan dua putra mereka tiba di Amsterdam. Mereka melarikan diri dari ancaman di Papua dan memilih menghadapi ketidakpastian baru di Belanda.
"Para politikus muda Papua berseberangan dengan keinginan Indonesia. Mereka yang berperan dalam proses memerdekakan Papua menghadapi kondisi yang tidak menentu.
"Ayah saya diberitahu bahwa dia bisa saja dibunuh atau setidaknya disiksa jika bertahan di Papua. Jadi dia memang harus pergi dari sana," kata Nancy.
Tumbuh dalam keluarga eksil di Belanda bukan perkara mudah bagi Nancy. Apalagi kulitnya berwarna.
Perlakuan rasial dia rasakan pada usia yang sangat belia: delapan tahun. Ketika itu teman sebayanya mengucapkan hinaan yang kerap dilemparkan kepada orang-orang berkulit hitam.
"Saya ingat betul pertama kali saya dicaci seperti itu. Waktu itu saya sedang bermain di halaman sekolah dan mereka mengatakan kata kasar itu," kata Nancy.
"Saya juga ingat waktu berusia 10 tahun, orang-orang memanggil saya sebagai orang Maluku. Ketika itu, Maluku adalah sebuah umpatan," ucapnya.
Pada tahun 1977, sembilan eksil asal Maluku Selatan membajak kereta di Groningen, Belanda. Mereka menuntut janji pemerintah Belanda terkait kemerdekaan Republik Maluku Selatan.
Dua dari sekitar 50 sandera tewas dalam pembajakan itu. Enam penyandera tewas di tangan Marinir Belanda.
"Saya terus belajar agar kuat menghadapi perundungan itu," kata Nancy.
Tumbuh dewasa, Nancy menenggelamkan diri dalam pergaulan komunitas eksil Papua. Tidak seperti dua saudara laki-lakinya, dia nyaris tidak pernah absen mengikuti Pesta Papua.
Di sisi lain, berbagai cerita dan legenda Papua yang dipaparkan Nicholaas memunculkan imajinasi tentang kampung halaman dalam benak Nancy.
Nancy berkata, identitas kepapuaannya menguat saat dia membaca sejumlah tulisan ayahnya tentang kejadian di balik Penentuan Pendapat Rakyat atau Perpera.
Rasa memiliki tanah air itu akhirnya menyeruak saat Nancy untuk pertama kalinya tiba di Bandara Sentani, Jayapura. Kala itu tujuan akhirnya adalah pulang ke Kayu Pulau, tempat kelahiran ayahnya.
"Ketika kaki saya menyentuh tanah di Sentani, saya merasa energi bumi menjalar ke kaki dan tubuh saya. Bumi seolah berkata kepada saya, `selamat datang kembali`," ucapnya.
Nancy menyebut Nicholaas tidak pernah memaksanya meneruskan asa kemerdekaan Papua. Tapi pada akhirnya jalan hidup Nancy tetap tidak bisa lepas dari asal usulnya.
Nancy sempat memimpin Papua Cultural Heritage Foundation (PACE), sebuah lembaga nirlaba di Utrecht mengarsipkan berbagai catatan terkait Papua.
Nancy juga menulis sejumlah buku bertema Papua dalam bahasa Belanda. Salah satu bukunya mengungkap eksistensi dan pergulatan perempuan keturunan Papua di Belanda: Papua`s? Oja, die bestaan echt, he? Een inventarisatie van de Positie van Papuavrouwen in Nederland, 1958-1992.
Namun apakah Nancy bisa benar-benar berempati pada orang-orang Papua yang hidup dalam berbagai keterbatasan?
Merujuk data Badan Pusat Statistik, indeks pembangunan manusia di Papua dan Papua Barat selalu menjadi yang terendah di Indonesia selama tahun-tahun terakhir.
Sebagian warga Papua kini tinggal di pengungsian karena terjebak dalam konflik bersenjata antara aparat dan milisi pro-kemerdekaan. Sebagian lainnya hidup dengan layanan dasar yang sangat minim.
Nancy tentu tidak mengalami itu. Dia bersekolah hingga perguruan tinggi. Berstatus warga negara Belanda, dia juga mendapat fasilitas dasar lainnya.
"Kami, keturunan Papua di Belanda, memiliki privilese. Tapi kemewahan itu menuntut tanggung jawab. Bagi saya, cara membayar privilese itu adalah dengan terus menyuarakan yang terjadi di Papua, " kata Nancy.
"Banyak orang di Belanda tidak tahu sejarah kolonial negara mereka di Papua. Fakta bahwa sejarah itu dilupakan sungguh menyakitkan. Tugas saya adalah menjaga kisah itu tetap hidup.
"Tapi banyak juga orang Indonesia yang tidak tahu apa-apa tentang Papua. Suatu kali dalam perjalanan udara, seseorang bertanya mengapa saya pergi ke Papua.
"Orang itu bilang, saya lebih baik pergi ke Bali atau kota lain di Jawa. Jelas ada sesuatu yang harus diubah dalam pola pikir itu," ujar Nancy.
Jalan hidup yang dipilih Nancy terus bergulir, termasuk ketika ayahnya memutuskan menerima undangan pemerintah Indonesia untuk pulang ke Jayapura pada tahun 2009. Ketika itu Nicholaas bertemu berbagai pejabat tinggi negara, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Keputusan Nicholaas menjadi kabar sensasional, tapi juga membuat banyak kalangan bertanya-tanya.
Hari ini, sikap Nicholaas itu masih terus dibingkai oleh banyak figur publik dan media massa, bahwa pendiri Gerakan Operasi Papua Merdeka—cikal bakal OPM—pada akhirnya mendukung NKRI.