Cerita Keturunan Papua yang Kehilangan Tanah Air
- bbc
Setidaknya 1.000 orang keturunan Papua dari tiga generasi berbeda saat ini tinggal di Belanda. Sebagian dari mereka sama sekali tidak bisa menginjakkan kaki di kampung halaman leluhur karena mendambakan kemerdekaan Papua.
Orang-orang itu adalah pelarian asal Nugini Belanda. Mereka mengungsi saat konfrontasi militer Indonesia-Belanda pecah di wilayah yang kini bernama Papua pada periode 1960-1962.
Sebagian lainnya adalah orang-orang Papua yang hijrah ke Belanda untuk menghindari apa yang disebut kelompok HAM sebagai militerisme Orde Baru pada awal dekade 1980-an.
Di antara mereka adalah anak-cucu pembuat bendera Bintang Kejora—simbol yang kini dianggap bagian dari kultur orang asli Papua, tapi kerap dijadikan alasan pemidanaan.
Ada pula generasi kedua seniman ternama Papua yang diyakini dibunuh pasukan elite Indonesia pada tahun 1984.
Baca juga:
- Lahir dan besar dalam konflik, bagaimana anak-anak kandung tertuduh separatis memandang keIndonesiaan?
- `Ih kalian bau` dan tudingan tukang minum: Mahasiswa Papua bicara soal rasialisme
- Investigasi BBC: Ini cara kerja jaringan bot penyebar informasi palsu tentang Papua
Orang-orang keturunan Papua di Belanda menganggap diri mereka adalah eksil, walau sebagian dari mereka lebih memilih disebut diaspora.
Membangun kehidupan di negeri orang adalah perjuangan tanpa henti. Memulai babak baru kehidupan dari nol hingga perundungan rasial harus mereka lalui.
Meski begitu mereka akhirnya meraih privilese yang tak dimiliki banyak orang asli Papua.
Lantas bagaimana mereka memandang identitas kepapuaan mereka? Dan mengapa mereka kerap meyuarakan persoalan Papua padahal hidup ribuan kilometer dari wilayah ini?
BBC News Indonesia bertemu dengan empat anak-cucu pelarian Papua di Utrecht, Belanda, beberapa waktu lalu. Berikut ini adalah kisah mereka.
`Ayah saya mendesain bendera Bintang Kejora`
Nicholaas Jouwe adalah satu dari dua orang asli Papua pertama yang duduk di pucuk kepemimpinan Dewan Nugini, saat wilayah itu masih menjadi koloni Belanda.
Selama hampir setengah abad dia hidup sebagai eksil di Delft ”kota kecil di Belanda yang luasnya separuh wilayah Jakarta Pusat.
Pada usia 85 tahun, dia kembali ke kampung halamannya.
Sejak momen itu hingga saat dia wafat di usia 93 tahun pada 2017, banyak kalangan menyebut Nicholaas akhirnya menanggalkan cita-citanya soal Papua yang merdeka.
Namun Nancy Leilani Jouwe yakin ayahnya masih menyimpan asa yang dipendam sejak memimpin komisi persiapan kemerdekaan Papua dari Belanda.
"Saya tidak mempercayai itu. Setelah berjuang lebih dari 40 tahun di pengasingan, di penghujung kehidupannya dia mencoba cara lain untuk memperbaiki kehidupan orang-orang Papua," kata Nancy.
"Bukan dengan berkonfrontasi, dia berusaha menjajaki dialog yang inklusif, sebagaimana dia melihat upaya generasi Papua setelahnya.
"Begitu tiba di Indonesia, sulit baginya melihat peluang yang tersedia. Dia kala itu sudah uzur, jadi secara personal saya tidak akan berkata bahwa ayah meninggalkan impiannya," ujar Nancy.
Nancy jelas paham betul nuansa kebatinan ayahnya. Dia menemani Nicholaas untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Indonesia tahun 2009. Nancy juga menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana ayahnya membangun ulang kehidupan keluarga mereka di Belanda, sembari berdiplomasi memerdekakan Papua.
Nancy belum lahir saat ayah, ibu, dan dua saudara laki-lakinya mengungsi ke Belanda tahun 1962. Dia lahir lima tahun setelah itu.
Pada masa kecilnya, Nancy merasakan `sesuatu yang hilang` dalam keluarganya. Ayahnya jarang berada di rumah. Urusan rumah tangga, termasuk membesarkan anak-anak, dikerjakan oleh ibunya, Louise Leonara.
Dari Belanda, Nicholaas berkeliling ke sejumlah negara untuk menggalang dukungan untuk kemerdekaan Papua. Dia bertamu ke kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Dia juga terbang ke Afrika untuk meraih solidaritas dari sesama berkulit gelap.
"Masa kanak-kanak berlalu dalam nuansa orang-orang yang melarikan diri dari tanah airnya, meski kami tidak pernah membahas masalah itu.
"Rasa bahwa kami tidak memiliki tanah air itu begitu kuat," kata Nancy.
Nicholaas bukan orang Papua biasa. Dia turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949. Saat itu dia merupakan bagian dari delegasi Nugini Belanda.
Nicholaas juga menempuh pendidikan tinggi di Belanda sebelum akhirnya menikah dengan Louise Leonara, perempuan Belanda berdarah Solo yang melahirkan Nancy.
Pasangan transnasional itu lantas membangun rumah tangga di tanah kelahiran Nicholaas: Papua.
Semuanya kemudian berjalan mulus untuk keduanya. Nicholaas diangkat menjadi Wakil Ketua Dewan Nugini pada 1961. Nancy berkata, orang-orang Papua yang diberi jabatan pada institusi itu merupakan anak-anak kepala suku.
Lembaga ini, menurut banyak literatur, dibentuk Belanda sebagai bagian dari persiapan kemerdekaan Papua yang didasarkan pada hak menentukan nasib sendiri.
Salah satu yang dilakukan Dewan Nugini adalah merancang bendera yang nantinya digunakan Papua setelah lepas dari Belanda.
Nancy—akademisi sekaligus penulis isu dekolonialisasi—menyebut Papua saat itu membutuhkan simbol bersama untuk menyatukan penduduk yang terbagi dalam sejumlah kelompok suku.
"Nasionalisme Papua saat itu harus digairahkan dan sebuah bendera dapat mempersatukan semua kalangan," tuturnya.