Logo ABC

Mahasiswa Indonesia Terpaksa Tunda Kedatangan ke Australia

Andina Dwifatma says she is ready to come to Australia to continue her PhD at Monash University and to adapt to new COVID-19 rules.  (Supplied)
Andina Dwifatma says she is ready to come to Australia to continue her PhD at Monash University and to adapt to new COVID-19 rules.  (Supplied)
Sumber :
  • abc

Mahasiswa internasional, termasuk asal Indonesia, menyambut baik pengumuman jika mereka yang sudah divaksinasi bisa kembali ke Australia mulai 1 Desember. 

Tapi seminggu kemudian Pemerintah Australia memutuskan untuk menunda kedatangan mereka sebagai tanggapan akan risiko penyebaran varian Omicron.

Mahasiswa internasional dan pemegang visa jenis lainnya di Australia, seperti visa kerja dan visa kemanusiaan, telah dilarang masuk sampai setidaknya 15 Desember.

Andina Dwifatma, mahasiswa PhD di Monash University, Melbourne mengatakan ia sudah berbulan-bulan melakukan studinya di Jakarta. 

"Dalam beberapa pekan terakhir saya sudah menerima email dari kampus, intinya mengundang kita untuk ke Australia," kata Andina, yang juga penulis buku.

"Saran yang terakhir saya terima adalah tidak akan lagi karantina di hotel ketika tingkat vaksinasi di Australia sudah mencapai 90 persen penduduknya."

Tapi pada kenyataannya, aturan soal kedatangan mahasiswa internasional terus berubah, bahkan sejumlah universitas di Australia pun telah mendesak kepastian dari Pemerintah Australia.

"Saya mungkin akan ke Australia awal tahun depan ...  karena saya ingin mendapatkan vaksin booster, yang akan mulai ditawarkan warga di Jakarta pada bulan Januari," ujar Andina yang mengambil bidang antropologi media.

Andina mengaku jika perubahan soal kapan ia bisa kembali ke Australia telah sangat berdampak bagi kesehatan mentalnya.

"Saya sudah menyiapkan studi sejak awal 2020 ketika diterima di Monash, tapi terus diundur," ujarnya.

"Ini membuat saya capek dan berdampak pada kesehatan mental."

"Jadi bukannya fokus dengan menyiapkan proposal atau mencari data untuk riset saya, penundaan ini membuat saya khawatir kapan studi akan dimulai, apakah akan berlanjut atau tidak."

Tapi jika pun nantinya Australia akan terus menunda kedatangan mahasiswa internasional, Andina sudah mempersiapkan dirinya untuk tetap studi dari jarak jauh.

Jika nantinya Pemerintah Australia kembali mengharuskan mereka yang tidak berstatus warga negara atau penduduk tetap (PR) Australia untuk melakukan karantina hotel, biayanya tidak ditanggung beasiswa yang ia terima dari Monash University.

"Saya hanya ingin menambahkan pembukaan perbatasan Australia bagi mahasiswa internasional bukan berarti semua orang mampu dengan biaya terkait protokol COVID," kata Andina.

Ada yang tetap datang lewat program di Sydney

Di saat banyak mahasiswa internasional masih menunggu kejelasan kepastian kapan mereka bisa berangkat ke Australia, ratusan mahasiswa internasional yang sekolah di negara bagian New South Wales tetap akan datang pekan depan.

Pemerintah negara bagian New South Wales tetap melanjutkan program pertamanya untuk mendatangkan mahasiswa internasional, yang pernah diumumkan bulan September lalu.

Sekitar 250 mahasiswa internasional akan tiba di Sydney pada hari Senin, 6 Desember, dengan penerbangan sewaan.

Salah satunya adalah Mario Johan Hartono asal Bandung yang tercatat sebagai mahasiswa University of Technology Sydney (UTS).

Saat mendengar kabar tersebut Mario merasa sangat gembira.

"Saya tak pernah menyangka bakal secepat itu terbang ke Australia," ujarnya.

Ia menerima email dari UTS pada bulan Oktober lalu jika dirinya telah dipilih untuk ikut dalam program dengan bayaran AU$2.000, atau lebih dari Rp20 juta.

Mario juga mengatakan ia tidak diharuskan untuk karantina, tapi biaya tersebut sudah termasuk akomodasi untuk dua minggu.

Mahasiswa S2 'Media Practice and Industry' tersebut sudah mengundurkan diri dari tempat kerjanya dan menyiapkan dokumen serta kopernya untuk berangkat minggu depan.

Ia mengaku sangat senang dengan kepastian untuk berangkat ke Sydney setelah berusaha keras untuk kuliah di Australia sejak 2017.

"Enggak cuma ketidakpastian yang aku lalui selama bertahun-tahun, tapi ada juga harga yang harus dibayar untuk memegang impian ini ...  sudah banyak biaya yang orangtua aku keluarkan untuk hal ini," ujarnya.

Tapi mendengar kabar ditundanya pembukaan perbatasan bagi mahasiswa internasional lain, ia turut berempati.

"I feel sorry to hear the news," katanya.

"Terasa sih, mungkin seperti dipermainkan ... mungkin mereka sudah ada rencana buat book penerbangan tahunya kabar begitu lagi."

'Hanya penundaan sementara'

Dalam pernyataannya kepada ABC Indonesia, Menteri Pendidikan Australia Alan Tudge mengatakan penundaan kedatangan mahasiswa internasional ke Australia, selain yang program dari Pemerintah NSW, bertujuan agar Pemerintah Australia bisa mencari informasi lebih banyak untuk memahami varian Omicron.

"Saya tahu ini mengecewakan banyak mahasiswa yang sudah tak sabar ke Australia, tapi ini hanya penundaan sementara," ujarnya.

"Rencana kita masih ada untuk mendukung kedatangan kembali mahasiswa internasional dan migran pekerja terampil ke Australia."

Sementara itu Universities Australia, lembaga yang menaungi sejumlah perguruan tinggi di Australia, mengatakan ada sekitar 130 ribu mahasiswa yang berada di Australia.

"Mereka berharap dengan cemas untuk bisa kembali saat semester pertama dimulai. Begitu juga dengan pihak universitas yang sudah ingin menyambut mereka," kata Catriona Jackson, Direktur Eksekutif Universities Australia.

Kepada ABC Indonesia ia juga mengatakan jika pihak universitas hanya bisa mengikuti arahan dari Pemerintah berdasarkan panduan dari pakar kesehatan di Australia.

"Kita sangat paham penundaan ini akan menyulitkan mahasiswa dan perguruan tinggi. Sangatlah penting untuk mengakui ketangguhan luar biasa dari mereka yang telah menunggu dengan sabar hingga dua tahun untuk melanjutkan studi mereka di kampus."

Merasa kurang mendapat pengakuan dan dihargai

Belle WX Lim, mahasiswi asal Malaysia mengatakan jika penundaan dan perubahan aturan telah menyebabkan kecemasan di kalangan mahasiswa internasional.

"Tentu ada kecemasan karena perubahan sudah berkali-kali terjadi dalam 18 bulan terakhir dan bisa dengan cepat berubah," ujar Belle.

Ketidakpastian nasib mahasiswa internasional juga berdampak bagi dirinya, meski ia sudah berada di Melbourne.

Ia mengatakan hingga saat ini ia masih takut keluar dari Australia untuk bertemu keluarganya yang sudah ia tidak jumpai setidaknya selama dua tahun.

"Kita tahu ada ratusan ribu mahasiswa yang sedang menunggu kembali ke Australia, jadi antreannya panjang," ujar Belle.

"Jadi ada risiko jika saya keluar Australia dan peraturan perbatasan bisa terus berubah, saya bisa stuck di luar."

Belle yang pernah menjabat sebagai presiden Council of International Students Australia mengatakan meski ia paham kebijakan yang diambil Australia, tapi ia merasa mahasiswa internasional kurang mendapat pengakuan dan dihargai oleh Pemerintah Australia.

"Mereka sudah bayar uang kuliah AU$40.000 [lebih dari Rp400 juta], belum termasuk uang sewa tempat tinggal, barang-barang mereka juga masih ada di sini ... dan sekarang mereka terjebak di luar negeri sudah dua tahu," kata Belle.

"Respon dari Pemerintah Australia sangatlah tidak berbelas kasih," tegas Belle yang berharap mendapat lebih banyak bantuan dari Pemerintah Australia.

"Saya rasa, begitu juga dengan mahasiswa internasional lainnya di Australia, kalau kita punya masalah keuangan dan kesehatan, ada ketakutan kita belum tentu dibantu Pemerintah Australia."

Pekan lalu Pemerintah Australia mengubah kebijakan visa untuk pelajar internasional yang mengizinkan pemegang visa jenis 'Temporary Graduate' yang tidak bisa ke Australia akibat pembatasan perbatasan.

Mereka kini dapat mengajukan permohonan visa pengganti, terutama bagi mereka yang visanya kedaluwarsa setelah 1 Februari 2020 .

Pemerintah Australia juga akan menambah izin tinggal lebih lama bagi visa jenis 'Temporary Graduate' dari dua menjadi tiga tahun untuk mereka yang lulusan master. Sementara lulusan 'Vocational Education and Training' bisa tinggal selama dua tahun.

Belle mengatakan perubahan tersebut sudah "disambut dengan baik" oleh mahasiswa internasional, meski menurutnya hanya berdampak pada siswa dengan jenis visa yang sudah dijelaskan di atas dan jumlahnya hanya "sebagian kecil dari mahasiswa internasional".