Dipublikasikan di COP26, Penelitian Wallacea Indonesia dan Inggris

Wallacea
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Proyek penelitian Wallacea yang dilakukan para peneliti Inggris dan Indonesia telah dipublikasikan dalam bentuk booklet  dan dipresentasikan saat KTT Iklim COP26 yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia. 

Raker dengan DPR, Menhut Tegaskan Tak Segan Cabut Izin PPKH Perusahaan Nakal

Wilayah Wallacea meliputi 1680 pulau di provinsi Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil di wilayah tengah Indonesia, dan membentuk zona transisi evolusioner antara Asia dan Australia. 

Wallacea berfungsi sebagai laboratorium hidup untuk studi evolusi karena pemisahan dan penyatuan pulau-pulau yang berbeda selama puluhan juta tahun. Saat ini, Wallacea adalah salah satu pusat endemik paling berharga di dunia, dan merupakan pusat ekologi bagi Indonesia penuh dengan keberagaman sumber daya alam. 

Raja Juli dan Kapolri Ketemu Bahas Penegakan Hukum Kehutanan

Namun wilayah ini menghadapi tantangan seperti meningkatnya deforestasi, kepunahan spesies, dan kesulitan dalam pemulihan hutan mangrove akibat perubahan iklim.

Temui Jaksa Agung, Raja Juli Koordinasi Berantas Bisnis Ilegal di Kawasan Hutan

"The Wallacea Region The Wallacea Region - Understanding biodiversity & evolutionary responses to environmental change” diluncurkan pada  2018 dengan tujuan untuk mengeksplorasi keanekaragaman hayati di wilayah Wallacea dan, memahami penggunaan lahan serta adaptasi keanekaragaman hayati dalam menanggapi perubahan lingkungan . 

Bersama dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Indonesia, UK Research and Innovation (UKRI) telah mendanai program penelitian yang ambisius di wilayah Wallacea untuk mendukung pengelolaan, restorasi, dan rehabilitasi kawasan dan keanekaragaman hayati yang efektif.

Berisiko alami deforestasi

Hutan di wilayah Wallacea berisiko mengalami deforestasi dalam waktu dekat yang dapat berdampak pada punahnya sejumlah spesies burung yang terkenal di wilayah tersebut, peneliti yang dipimpin oleh University of Kent dan Universitas Indonesia memodelkan deforestasi dan memperkirakan risiko kehilangan untuk membantu menjaga hutan Wallacea. 

Mereka juga menghubungkan informasi keanekaragaman hayati dengan prakiraan deforestasi untuk mengungkap area optimal konservasi dan mitigasi perubahan iklim sekaligus memastikan masyarakat tetap mendapatkan manfaat dari lingkungan sekitar mereka.

Perubahan penggunaan lahan yang sedang berlangsung dapat mengancam mamalia unik dan ikonik Wallacea, termasuk anoa, spesies kerbau kerdil, babi rusa dan babi gading. Untuk memahami kemungkinan dampak deforestasi terhadap kesehatan genetik hewan-hewan tersebut, tim dari Queen Mary University of London, Natural History Museum, dan Universitas Indonesia berkolaborasi untuk membuat sistem model yang dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan distribusi spesies di masa depan. 

Mereka telah menghasilkan software untuk membantu menentukan aspek iklim mana, jika ada, yang dapat digunakan untuk memprediksi distribusi masa depan untuk setiap spesies di wilayah Wallacea.

Para peneliti yang dipimpin oleh Royal Botanic Gardens Kew, Herbarium Bogoriense, Universitas Surya dan Universitas Nusa Cendana telah melakukan survei hutan musim di Sumbawa dan pulau-pulau sekitarnya untuk mengukur cadangan karbon dan mengkarakterisasi keanekaragaman tumbuhan di ekosistem yang masih jarang dipelajari ini. 

Mereka juga melatih mahasiswa, akademisi, dan praktisi Indonesia dalam teknik sensus dan pemantauan untuk membantu menilai status hutan musim. Mereka juga mengembangkan kursus online untuk meningkatkan keahlian dalam identifikasi spesies, GIS, penilaian stok karbon, Red listing dan bank benih.

Mangrove menyediakan jasa ekosistem penting untuk habitat ikan, perlindungan pantai, dan penyerapan karbon. Meskipun Indonesia telah kehilangan 40% hutan mangrove, negara ini masih mendukung beberapa biomassa mangrove tertinggi di dunia. 

Di Sulawesi Utara, para ilmuwan yang dipimpin oleh Edinburgh Napier University, Universitas Diponegoro dan Universitas Sam Ratulangi telah mengkaji struktur komunitas dan keragaman fungsional mangrove yang direstorasi untuk membantu rencana restorasi. 

Mereka telah menghasilkan seperangkat indikator dan alat untuk membantu mengevaluasi kegiatan restorasi bakau dan menginformasikan tindakan masa depan di Wallacea dan sekitarnya.

Keanekaragaman hayati terumbu karang Wallacea benar-benar ikonik dan mendukung mata pencaharian jutaan orang di seluruh nusantara. Namun perubahan iklim, polusi, dan penggunaan berlebihan merupakan ancaman utama bagi ekosistem yang rapuh ini. 

Para peneliti yang dipimpin oleh Universitas Leeds dan Essex dengan Universitas Hasanuddin dan Pattimura sedang telah mengkaji pemahaman baru tentang bagaimana degradasi terumbu mempengaruhi proses ekologi melalui interaksi spesies. 

Mereka menggunakan lingkungan Analisis DNA di 260 situs untuk mengkarakterisasi penyederhanaan jaringan spesies dengan meningkatnya penurunan terumbu.

Proyek penelitian Wallacea yang dipublikasikan dalam bentuk booklet telah dipresentasikan kepada para peserta dan pengunjung COP26 di Glasgow dengan tema Adaptation and Resilience karena meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim merupakan salah satu tujuan utama dari COP26. 

Kemitraan penelitian yang adil menciptakan fondasi untuk solusi adaptasi yang inklusif, mendesak, dan transformatif, yang memungkinkan tindakan nyata dan mengatasi masalah keadilan sosial, pembangunan kapasitas, dan tata kelola. 

Baik Indonesia maupun Inggris mengakui bahwa komunitas global sedang berusaha keras untuk mengatasi dampak perubahan iklim, khususnya adaptasi keanekaragaman hayati. 

"Kita juga perlu mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari perubahan iklim dan apakah perilaku dan kebijakan kita saat ini meningkatkan ketahanan kita terhadap dampak tersebut atau malah memperburuknya," kata para peneliti. 

Untuk diketahui, Alfred Wallacea adalah seorang ilmuwan dari Inggris yang menciptakan garis Wallacea, yaitu garis batas yang memisahkan ecozones dan fauna ini terbelah tepat di Indonesia, dengan Kalimantan, Jawa dan Sumatera di sisi barat dan Papua, Sulawesi dan Australia di sisi timur. 

Di sebelah barat garis adalah spesies Asia, dan ke arah Timur adalah spesies yang terlihat seperti campuran asal Asia dan Australia. Perpecahan ini penting karena menunjukkan bagaimana evolusi bervariasi di seluruh benua dan mempengaruhi keberagaman hayati di wilayah tersebut.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya