Indonesia Berharap Pembahasan Artikel 6 Soal NDC Selesai di COP26

Presiden Jokowi ditemani Menteri LHK Siti Nurbaya di KTT COP26 UNFCC Glasgow. Credit: Dokumen KLHK
Sumber :
  • Dok. KLHK

VIVA – Progres negosiasi pada Konferensi Tinkat Tinggi Iklim COP 26 masih membahas masalah krusial, salah satunya adalah Artikel 6. Indonesia sangat berharap negosiasi akan selesai pada pekan kedua menjelang berakhirnya COP26 yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia. 

Punya Manfaat Luar Biasa, Tanam Mangrove Bisa Mitigasi Dampak Bencana Hingga Perubahan Iklim

”COP-26 ini penting karena inilah waktunya di mana negara-negara pihak dapat menyelesaikan perundingan untuk bisa mendapatkan Paris Rules Book, meskipun sempat tertunda karena pandemi COVID-19,” kata Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) selaku Ketua Delegasi Indonesia pada COP 26 Laksmi Dhewanthi, di sela-selasa konferensi, Selasa waktu setempat. 

Laksmi menjelaskan, Artikel 6 tentang mekanisme kerja sama dan tidak hanya perdagangan karbon saja. Artikel 6 adalah salah satu kunci untuk mendukung upaya target NDC. Artikel 6 dan agenda krusial lainnya, ada delapan agenda dalam jalur negosiasi yang sudah dibahas pada minggu pertama.

Selesaikan Roadshow di 5 Kota, Kini Perempuan Muda Siap Pimpin Aksi Iklim

“Jadi arahnya lebih ke upaya pencapaian target NDC.  Tentu kita perjuangkan posisi Indonesia sehingga manfaat hasil COP26 di Glasgow ini mendukung apa yang sudah kita rencanakan dan siapkan regulasinya di Indonesia,“ kata dia.

Ia menambahkan,  untuk Artikel 6 Co-fasilitator yang ditunjuk adalah Norwegia dan Singapura untuk melanjutkan pembahasan lebih ke atasnya (setingkat Menteri). Dan saat ini menurut Laksmi, pihaknya bernegosiasi dengan modalitas yang ada. 

Drama Iklim Dunia yang Belum Tuntas

"Artikel 6 memang minggu lalu belum ada draft teksnya, tapi kami dari sisi negosiator melihat mulai ada perkembangan, di mana sekarang mulai lebih banyak persamaannya dibanding perbedaannya. Meski masih ada yang beda, dan itu posisinya. Kita bisa lihat, oh yang ini sudah mulai dekat," ujarnya.

Laksmi menjelaskan, dalam Artikel 6 ada tiga mekanisme kerja sama, pertama mekanisme kerja sama sukarela antara negara untuk pemenuhan NDC nya. Jadi negara yang belum mampu memenuhi NDCnya bisa membeli bisa membeli dari negara lain. Kedua, mekanisme perdagangan karbon antara pelaku usaha atau sektor publik yang sudah punya kewajiban. Dan, ketiga adalah mekanisme antara negara untuk mendorong pemenuhan NDC dengan pelatihan di mana tidak ada transfer karbonnya. 

"Jadi memang semua memiliki semangat untuk menyelesaikan semua di sini (COP26), semua memang ada kesepakatan. Tapi kami semua berharap di Artikel 6 semua menghasilkan yang ada artinya dan bisa diimplementasikan," tutur Laksmi.

Target emisi

Seperti diketahui operasionalisasi dari artikel 6 Perjanjian Paris atau Paris Agreement, yang menyangkut instrument pasar dan nonpasar (market-nonmarket) atau carbon pricing pemenuhan Nationally Determined Contributions (NDC) untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga tahun 2030.

Selain Artikel 6 sejumlah isu krusial lainnya adalah terkait kerangka waktu pelaporan NDC atau Common Time Frame for NDC. Jadi negara-negara harus sepakat kapan waktu yang pas untuk bisa melaporkan capaian NDC-nya. Ada periode waktu yang perlu disepakati antar negara, yaitu 5 atau 10 tahun sekali.

Kemudian ketiga, isu krusial mengenai metodologi bagaimana format pelaporan terkait implementasi aksi mitigasi, aksi adaptasi, dan dukungan finansial, peningkatan kapasitas, dan teknologi (Common Reporting Format, Common Reporting Tables). 

Hal ini agar apa yang menjadi komitmen negara-negara di dunia untuk penurunan emisi GRK dalam Nationally Determined Contributions (NDC) mereka, bisa ditelusuri dan dilaporkan dengan metodologi yang standar sesuai kesepakatan bersama agar mudah disintesakan.

KTT Iklim COP 26 merupakan kali ke 26 penyelenggaraan COP sejak pertama kali diselenggarakan tahun 1994 lalu dengan inisiasi dari PBB. KTT Iklim COP 26 ini secara keseluruhan terdiri atas lima rangkaian pertemuan, yaitu pertama pertemuan COP-26 itu sendiri, kemudian kedua pertemuan Protokol Kyoto ke 16, Ketiga pertemuan untuk CMA13. Keempat Sesi SBI atau Subsidiary Body for Implementation, dan kelima Sesi SBSTA (Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice), semua dilakukan secara parallel dalam COP-26. 

Selain negosiasi yang meliputi 5 agenda di atas tadi, masih ada jalur non-negosiasi untuk mendukung apa yang sedang dinegosiasikan sekaligus memberikan edukasi-edukasi kepada publik. Jalur negosiasi penting untuk menunjukkan kepada publik aksi-aksi iklim yang telah dilakukan oleh masing-masing negara pihak dalam KTT Iklim COP. Indonesia menggunakan jalur non negosiasi dengan menyelenggarakan Paviliun Indonesia.

KTT Iklim COP 26 juga diisi dengan agenda mobilisasi pendanaan dan juga agenda World Leaders Summit dan High-Level Segments yang membahas berbagai isu seperti energi, lingkungan, ilmu pengetahuan dan inovasi, transportasi, pembangunan kota, dan juga pembangunan yang ramah lingkungan.

Selama dua Minggu di Glasgow (31 Oktober hingga 12 November 2021) Delegasi Indonesia akan berjuang mencapai kesepakatan melalui jalur negosiasi dan non negosiasi atas agenda-agenda krusial. Tentu saja kesepakatan yang dicapai harus mereflesikan kepentingan berbagai negara-negara pihak, termasuk Indonesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya