Logo ABC

Pekerja Backpacker Asing Menangkan Gugatan Pajak di Australia

Catherine Addy mengajukan gugaran karena pajak yang dikenakan terhadap dirinya bersifat diskriminatif. (Pixabay)
Catherine Addy mengajukan gugaran karena pajak yang dikenakan terhadap dirinya bersifat diskriminatif. (Pixabay)
Sumber :
  • abc

Seorang 'backpacker' perempuan yang juga bekerja di Sydney memenangkan gugatan terkait pajak

Catherine Addy asal Inggris mengajukan gugatan karena merasa pajak yang dikenakan pada dirinya sebagai pekerja 'backpacker' bersifat diskriminasi.

'Backpacker' adalah sebutan bagi para pekerja yang berusia 18-30 tahun yang datang ke Australia menggunakan visa Working Holiday (WHV), visa yang memberikan kesempatan untuk berlibur sambil bekerja selama antara 1 sampai 3 tahun.

Rabu kemarin (31/11), Pengadilan Tinggi Australia telah mengabulkan gugatannya dan diperkirakan akan berdampak juga bagi ribuan pekerja 'backpacker' lainnya.

Dalam gugatannya Catherine mengatakan pajak yang dikenakan kepada dirinya berbeda dengan pajak bagi warga Australia lainnya.

Padahal dalam perjanjian yang sudah disepakati antara Inggris dan Australia, para 'backpacker' membayar pajak dengan tarif yang sudah ditetapkan, bukan berdasarkan seberapa besar penghasilannya seperti warga lainnya.

Banyak 'backpacker' mengatakan pengenaan pajak tersebut bertentangan dengan hukum internasional.

Pajak ini diterapkan pertama kali tahun 2017 dan berlaku bagi pemegang visa 417 dan 462, yaitu visa utama WHV.

Catherine bekerja sebagai pelayan di Sydney antara bulan Januari 2017 sampai Mei 2017, kemudian ia meninggalkan Australia.

Penghasilannya ketika itu adalah AU$26.576 atau lebih dari Rp260 juta.

Catherine menggugat karena ia masih dikenakan pajak 15 persen sesuai perjanjian, padahal warga Australia lainnya tidak harus membayar pajak dengan penghasilan sebesar itu karena masih di bawah penghasilan bebas pajak.

Ia berpendapat besarnya pajak tersebut bertentangan dengan kesepakatan 'pajak ganda' yang dilakukan Australia dengan Inggris dan beberapa negara lainnya.

Perjanjian tersebut melarang adanya bentuk diskriminasi berdasarkan kewarganegaraan, yakni seorang warga asing tidak harus dikenai pajak yang "lebih membebani" dibandingkan warga lokal dalam posisi yang sama. 

"Dalam kasus ini, penerapan atura pajak umum yang diberlakukan antara Australia dan Inggris seharusnya sama, namun tarif pajak mereka berbeda," kata keputusan hakim.

"Pajak yang dikenakan terhadap Catherine, warga Inggris lebih tinggi dibandingkan yang dikenakan terhadap warga Australia yang mengerjakan hal sama, mendapatkan penghasilan yang sama, di bawah kebijakan pajak yang sama."

'Tidak setiap hari kita bisa seperti ini'

Catherine menyambut gembira dengan keputusan Pengadilan Tinggi.

"Rasanya puas. Tidak setiap hari kita bisa seperti ini," katanya.

"Ada begitu banyak orang yang sudah menghubungi saya dan saya tahu ada begitu banyak backpacker".

"Saya tidak sadar diperlukan waktu begitu lama dipengadilan, namun saya senang akhirnya ini selesai dan saya bisa melanjutkan hidup saya."

Catherine mengatakan pajak 'backpacker' membuatnya kehilangan penghasilan sekitar seribu poundsterling, atau lebih dari Rp19 juta.

Tapi menurutnya ini bukan cuma soal uang, melainkan banyak belasan ribu pekerja 'backpacker' dengan visa jenis WHV mengalami hal yang sama.

"Jumlah yang besar tapi juga bukan sekedar masalah uang, ini adalah masalah keadilan bahwa sudah ada kesepakatan namu kesepakatan itu dilanggar."

Catherine mengajukan kasusnya ke pengadilan dengan bantuan dari perusahaan yang berbasis di Republik Irlandia, yakni Taxback.com.

CEO Taxback's, Joanna Murphy mengatakan keputusan pengadilan tinggi Australia tersebut berarti sekitar 820 ribu backpacker yang bekerja di Australia antara tahun 2017 sampai 2021 mungkin membayar pajak mereka berlebihan.

Tanggapan dari kantor pajak Australia

Dalam pernyataannya Kantor Pajak Australia (ATO) mengatakan mereka sedang mempelajari keputusan dari Pengadilan Tinggi dan akan memberikan petunjuk lebih lanjut secepat mungkin.

"Keputusan ini tidak akan mengubah tarif pajak bagi mayoritas pemegang WHV lain," kata juru bicara ATO.

"Keputusan ini hanya relevan di mana pemegang WHV itu adalah warga Australia dalam soal pajak dan berasal dari negara Cile, Finlandia, Jepang, Norwegia, Turki, Inggris atau Israel."

"Kebanyakan backpacker adalah non-residen karena mereka di Australia untuk berlibur atau bekerja untuk membiayai liburan."

ATO mengatakan siapa yang merasa keputusan Pengadilan Tinggi memiliki dampak bagi mereka, maka diminta "melakukan pengecekan di situs ATO untuk panduan terbaru sebelum mengajukan permintaan perubahan pajak."

Artikel ini diproduksi dan dirangkum oleh Sastra Wijaya dari ABC News