Cara Kaum Muda Indonesia Melawan Krisis Iklim
- bbc
"Siapa sih yang bakal merasakan dampak krisis iklim? Yaitu kita yang masih muda ini. Pilihannya ada pada kita, mau mencoba mengurangi atau ya sudah, let it go, pasrah aja.
Ini mah tidak usah diapa-apain. Kita mengalami bencana banjir yang lebih banyak, panas yang lebih banyak, cuaca lebih ekstrem. Saya tidak mau itu dibiarkan terjadi," ujarnya.
Masalah lingkungan tidak hanya didapat Steven dari referensi dan hasil riset. Semasa kecil, sebagai warga Cimahi, dia punya kenangan yang membekas soal kabar ledakan di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah di kotanya pada 2005.
https://www.instagram.com/p/B8vEvCKHavM/
Ledakan di TPA itu mengakibatkan 157 orang tewas dan banyak rumah di sekitar TPA hancur tertimbun sampah.
Setelah diselidiki, tumpukan sampah itu bisa meledak karena kumpulan akumulasi gas metana.
"Kalau terurainya tidak benar, atau sampahnya tercampur, maka akan menghasilkan emisi gas metana yang terkonsentrasi di satu tempat dan terus terkumpul sehingga lama-lama meledak dan itu menimpa rumah-rumah warga di dekat situ," ujar Steven.
Tragedi TPA Leuwigajah tersebut menimbulkan perasaan yang begitu kuat pada Steven, walau kala itu masih berusia lima tahun.
"Saya tidak mau kejadian itu terulang lagi, gas rumah kaca yang terkumpul dapat menimbulkan korban jiwa dan ini yang membuat saya akhirnya berkomitmen untuk menyuarakan masalah lingkungan sekaligus bergerak untuk mengatasinya."
Maka, saat masih menjadi mahasiswa jurusan Biologi di ITB, Steven membuat usaha rintisan (start-up) bidang pengelolaan sampah organik eLarvae.
"Konsepnya, kami menerima kiriman sampah organik dari pemulung, lalu kami olah dengan belatung supaya bisa mengurangi emisi gas rumah kaca serta bisa menjadi pakan ternak dan lain-lain."
Dia pun mengkoordinir program Eco Learning Camp untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengenal isu-isu lingkungan serta mendirikan LSM bernama Baramoeda Indonesia untuk mendidik anak muda terkait isu lingkungan dengan media kreatif.
Steven tahun ini mulai terjun ke bidang advokasi dengan cara kampanye secara langsung maupun secara online, termasuk kampanye mengawal kebijakan yang akan dibawa ke Konferensi COP26.
"Jadi, selain melakukan aksi nyata dengan mendirikan start-up dan membuat program edukasi, saya pun mulai berkecimpung di bidang advokasi mendukung kebijakan yang ramah lingkungan," ujarnya.
Menurut Steven, kaum muda percaya perubahan iklim tidak hanya untuk Indonesia, tetapi masalah bagi semua negara.
"Kami tidak menyalahkan siapapun. Ini adalah era kolaborasi, bukan kompetisi. Jadi, mari kita bersatu untuk melawan perubahan iklim dan mengurangi emisi global," katanya.