Mereka yang Mengendus Bau Kuat Senjata AUKUS

Kapal perang milliter AS USS Theodore Roosevelt CVN 71 transit di Laut Pasifik
Sumber :
  • Xinhua via Global Times

VIVA – Pakta pertahanan baru AUKUS 3 negara yaitu Australia, Inggris dan Amerika Serikat memicu kritik dan protes. Pakta pertahanan ini dicap bak NATO cabang yang memang belum bergerak namun kapan saja bisa ditekan tombol aktifnya.

Diketahui AS sebagai salah satu kekuatan dunia menjadi negara yang cukup getol membangun kerja sama keamanan, aliansi militer hingga pakta pertahanan. Tujuannya demi melanggengkan pengaruh di berbagai belahan dunia. Lalu biasanya, negara-negara lain akan bergabung dengan aliansi militer hingga pakta pertahanan. Ada dua alasan mengapa negara melakukannya sebagaimana dimuat dalam jurnal “The Changing Nature of Military Alliance” (halaman 135-136) tulisan Bruno Tertrais peneliti the Centre d’Etudes et de Recherche Internationales yang diterbitkan The Washington Quarterly pada 2004.

Alasan pertama, negara-negara tersebut memiliki kesamaan ide dan shared values di antara mereka. Alasan kedua adalah sebuah perhitungan untung rugi karena negara harus realistis mengamankan dirinya dan mempertahankan kepentingannya.

Sementara AS yang kerap menjadi kreator aliansi pun berubah prioritas dan strateginya dari waktu ke waktu. Contohnya di Asia. Meski sejak lama AS sudah menaruh armada di sejumlah wilayah sekutunya di Asia Pasifik namun akhirnya negara itu kini ingin menancapkan posisi lebih tegas. Agresivitas China di Laut China Selatan menjadi salah satu pemicu. Dan lalu lahirlah AUKUS.

China menjadi negara pertama dan tercepat menyambar deklarasi AUKUS pada tengah September 2021 lalu. Tiongkok meradang karena memang AUKUS dipasang major powers untuk menahan pengaruh kekuatan China di Asia Pasifik. Masing-masing dubes China, di Australia, Inggris dan Amerika Serikat (AS) mempertanyakan kerja sama pertahanan dan keamanan terbaru oleh 3 negara.

Kemudian juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) China Zhao Lijian dalam konferensi pers reguler menyatakan bahwa AUKUS akan memicu perlombaan senjata dan mengusik kestabilan keamanan di kawasan.

"Pembangunan kapal selam teknologi nuklir Australia yang amat sensitif itu dibantu AS dan Inggris lagi-lagi membuktikan mereka menggunakan nuklir sebagai alat permainan geopolitik dan bukti bahwa mereka ini standar ganda dan sangat tidak bertanggung jawab," kata Zhao sebagaimana dilansir ABC belum lama ini.

Sementara negara-negara lain juga bereaksi terhadap AUKUS. Alasan protes mereka tentu berbeda-beda. Ada yang sudah merasa dirugikan. Ada pula negara yang sadar cepat atau lambat AUKUS akan mengusik kestabilan di wilayahnya.

1. Indonesia

Indonesia menjadi negara ASEAN yang cukup vokal mengkritik keberadaan AUKUS. Menlu Retno Marsudi menyampaikan bahwa aliansi ini akan bisa memicu ketegangan di wilayah Asia Pasifik termasuk Laut China Selatan. Indonesia sendiri memiliki wilayah Natuna yang berdekatan dengan Laut China Selatan yang menjadi zona panas persaingan antara China dan AS selama ini. Belum lagi selama ini sejumlah negara anggota ASEAN juga berkonflik dengan China atas sengketa wilayah maritim di perairan itu.

2. Malaysia

Malaysia juga ikut memprotes kehadiran AUKUS. PM Malaysia Ismail Sabri Yaakob menyatakan bahwa AUKUS dengan kapal selam nuklirnya akan memicu perlombaan senjata yang bisa menjadi ancaman bagi negara-negara di Asia sebagaimana dilansir RT.

3. Prancis

Cukup mengejutkan. Prancis juga ikut mengkritik keberadaan AUKUS. Padahal negara itu bagian dari NATO. Tak lain tak bukan, Prancis kecewa lantaran kontrak pembelian kapal selam oleh Australia dibatalkan. Angkanya tak main-main karena kontrak itu sudah dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. Kesediaan AS dan Inggris membantu pembuatan kapal selam nuklir Australia membuat negara itu tak lanjut membeli alutsista mutakhir dari Prancis. Lantas Presiden Emmanuel Macron mutung. Hubungan Prancis dengan Inggris dan Australia dan AS belakangan ini menjadi tegang. Bahkan Dubes Prancis dari AS dipanggil pulang.

4. Rusia

China: Veto AS atas Rancangan Resolusi DK PBB untuk Gaza Tunjukkan Standar Ganda

Sementara pemerintah Rusia juga ikut bereaksi atas AUKUS. Rusia yang memang cenderung lebih sering berada di kubu yang sama dengan China dalam iklim geopolitik dunia juga menyayangkan unjuk kekuatan AS dan sekutunya di Asia.

Dubes Rusia untuk Indonesia  Lyudmila Vorobieva dalam rilis pers, Rabu 22 September 2021 menilai trilateral pertahanan ini sama sekali tak akan membawa dampak positif bagi negara-negara di Asia Pasifik dan sekitarnya.

Menteri Rosan Pastikan Gerak Cepat Realisasikan Komitmen Investasi US$8,5 Miliar dari 10 Perusahaan Inggris

"Ini hanya semacam klub eksklusif bagi sejumlah negara. Seharusnya Australia juga mengingat kembali komitmen untuk tidak membangun senjata nuklir apalagi kita semua tahu bagaimana sikap ASEAN yang tidak setuju dengan penggunaan senjata nuklir," kata Dubes Rusia sebagaimana dilansir VIVA.

5. Selandia Baru

Momen Lucu Presiden Prabowo dan Wakil PM Inggris saat Bahas 'Kucing'

Pemerintah Selandia Baru juga ikut merespons dan kurang gembira dengan keberadaan AUKUS. Diketahui Selandia Baru sebenarnya sudah memiliki kerja sama keamanan intelijen Five Eyes dengan 3 negara AUKUS. Five Eyes terdiri dari AS, Kanada, Inggris, Selandia Baru dan Australia. Aliansi intelijen ini dibentuk termasuk untuk mengawasi tindak-tanduk China. 

Namun untuk AUKUS, PM Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan negaranya tak bakal ikut-ikutan. Dia juga menolak bila Australia nanti akan menempatkan kapal selamnya di dekat perairan Selandia Baru, dikutip dari BBC.

Sementara itu Sekjen PBB Antonio Guterres dalam pembukaan sidang ke-76 Majelis Umum PBB bulan ini memperingatkan makin meningkatnya ketegangan antara China dan AS.

Dia mengatakan khawatir persaingan antara kedua negara adidaya tersebut akan membawa dunia menuju menuju dua kutub baik dalam hal aturan ekonomi, perdagangan, keuangan, dan teknologi yang berbeda. Kemudian dua pendekatan yang berbeda dalam pengembangan kecerdasan buatan dan pada akhirnya dua strategi militer dan geopolitik yang berbeda pula. Polarisasi ini akan membawa dunia kembali pada ketegangan pada masa lalu.

"Ini mungkin menjadi bencana. Ini akan jauh lebih sulit diprediksi daripada Perang Dingin," ujar Guterres di New York.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya