Sidang Majelis Umum PBB akan Berakhir, Tanpa Pidato Taliban, Myanmar
- Dok. PBB
VIVA – Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York akan berakhir pada Senin 27 September 2021, tanpa pidato dari perwakilan pemerintahan Taliban di Afghanistan dan Myanmar, setelah menampilkan 100 pemimpin dunia yang membahas pandemi COVID-19.
Komite Kredensial PBB sepertinya telah merespons permintaan dari Taliban untuk berbicara di Majelis Umum PBB yang akan diwakilkan menteri luar negerinya yang baru. Perwakilan rezim Afghanistan sebelumnya di PBB menentang permintaan Taliban itu.
Senin lalu, Taliban sudah menulis surat kepada Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, untuk meminta izin agar menteri luar negerinya Amir Khan Muttaqi diizinkan "berpartisipasi". Surat itu juga menyebutkan bahwa Ghulam Isaczai, utusan Afghanistan untuk PBB di bawah Presiden Ashraf Ghani, yang digulingkan bulan lalu, "tidak lagi mewakili" Afghanistan di PBB.
Permohonan itu diharuskan mendapat persetujuan oleh sebuah Komite Kredensial PBB yang terdiri dari Amerika Serikat, Rusia dan China. Namun, seorang pejabat PBB mengatakan kepada AFP bahwa pertemuan komite tidak terjadi, seperti dilansir CNA.
Seorang diplomat mengatakan bahwa Taliban "terlambat" mengirim permintaan, sehingga memungkinkan Isaczai, yang masih diakui PBB sebagai perwakilan Afghanistan, untuk berbicara di Majelis Umum PBB. Jika dia mengambil kesempatan itu, dia bisa menuntut penguatan sanksi terhadap Taliban, seperti yang dia lakukan selama pertemuan Dewan Keamanan pada 9 September.
Selain Taliban, perwakilan Myanmar juga tidak akan berbicara di Majelis Umum PBB. Seorang diplomat tingkat tinggi PBB mengatakan kepada AFP bahwa "kesepakatan" telah dicapai antara AS, Rusia dan China yang mencegah duta besar Myanmar untuk PBB, Kyaw Moe Tun, berbicara. Kyaw Moe Tun adalah seorang pendukung gerakan demokrasi yang telah menolak perintah junta untuk berhenti.
Kyaw Moe Tun, dipilih oleh mantan pemimpin Aung San Suu Kyi, didukung oleh masyarakat internasional dan telah mempertahankan kursinya di PBB setelah kudeta militer 1 Februari. Pada bulan Mei, junta menunjuk seorang mantan jenderal untuk menggantikannya, tetapi PBB belum menyetujui penunjukan tersebut.
Kyaw Moe Tun adalah korban dari dugaan konspirasi baru-baru ini yang digagalkan oleh penyelidik AS yang berencana untuk memaksanya mengundurkan diri atau membunuhnya jika dia menolak.