Peneliti Kelelawar Kamboja Selidiki Asal COVID-19
- Pixabay
VIVA – Peneliti mengumpulkan sampel dari kelelawar di wilayah Kamboja Utara guna memahami pandemi COVID-19 dengan mengembalikan ke tempat asal virus yang nyaris serupa ditemukan di hewan tersebut satu dekade lalu.
Dua sampel dari kelelawar tapal kuda dikumpulkan pada 2010 in Provinsi Stung Treng dekat Laos dan disimpan dalam lemari pembeku di Institut Pasteur du Cambodge (IPC) di Phnom Penh.
Pengujian dilakukan pada kelelawar tersebut tahun lalu dan hasilnya sangat berhubungan erat dengan virus corona yang telah menyebabkan kematian lebih dari 4,6 juta orang di seluruh dunia.
Tim peneliti IPC yang beranggotakan delapan orang telah mengumpulkan sampel dari kelelawar dan mencatat spesies, jenis kelamin, usia, dan informasi rinci lain dari mereka selama satu minggu. Penelitian yang sama juga tengah dilakukan di Filipina.
“Kami berharap hasil dari penelitian ini dapat membantu dunia untuk lebih memahami tentang COVID-19,” koordinator lapangan Thavry Hoem kepada Reuters saat ia memegang sebuah jaring untuk menangkap kelelawar.
Spesies-spesies inang, seperti kelelawar, biasanya tidak menunjukkan gejala patogen tetapi jenis-jenis itu berpotensi merusak jika ditularkan ke manusia atau hewan lainnya.
Dr.Veasna Duong, Kepala Virologi IPC mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan empat perjalanan dalam dua tahun belakangan, berharap menemukan petunjuk tentang asal dan evolusi virus yang ditularkan dari kelelawar.
“Kami ingin mencari tahu apakah virus itu masih berada di sana dan mengetahui bagaimana virus itu berevolusi,” katanya kepada Reuters.
Virus mematikan yang berasal dari kelawar termasuk Ebola dan virus-virus corona lainnya, seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) and Middle East Respiratory Syndrome (MERS).
Namun, Veasna Duong mengatakan manusia bertanggung jawab atas kekacauan yang disebabkan COVID-19 akibat gangguan dan perusakan habitat alami.
“Jika kita mencoba mendekati satwa liar, peluang tertular virus yang dibawa oleh mereka lebih banyak dari normal. Peluang virus untuk bertransformasi untuk menginfeksi manusia juga lebih banyak,” katanya.
Proyek yang didanai Prancis tersebut juga bertujuan melihat bagaimana perdagangan satwa liar bisa berperan, kata Julia Guillebaud, insinyur peneliti di Unit Virologi IPC.
“Proyek ini bertujuan memberikan pengetahuan baru terkait rantai perdagangan daging satwa liar di Kamboja, mendokumentasikan keragaman betacoronavirus yang beredar melalui rantai tersebut dan mengembangkan sistem deteksi dini yang fleksibel dan terpadu dari peristiwa penyebaran virus,” kata Guillebaud. (Ant/Antara)