Cerita Imam Indonesia Ketika Citra Islam Ikut Runtuh usai 11 September
- bbc
New York Magazine menyebutnya sebagai ulama moderat yang "memimpin 1.000 jemaah di Indonesian Culture Centre di Woodside, 4.000 jemaah di Jamaican Muslim Centre dan berkhotbah di depan 6.000 jemaah di Masjid 96th Street. Sejak 9/11". Ia menjadi utusan tak resmi penegak hukum dan kantor wali kota.
"Seandainya Islam itu seperti Gedung WTC, Islam ketika itu sedang runtuh juga."
"Saya merasakan beratnya ketika itu, bagaimana membangun lagi. Kalau WTC secara fisik bisa dibangun lagi, tapi membangun image [citra] yang diruntuhkan ini… Bagaimana image yang selama ini kita bangun diruntuhkan. Sangat menyedihkan."
Hari itu, komunitasnya banyak mendengar "teman-teman yang menghadapi kekerasan. Ada masjid yang dirusak, ada perempuan yang dipukuli. Macam-macam kekerasan yang terjadi pada hari pertama."
Menurut catatan Biro Penyelidik Federal, FBI, terdapat 28 laporan kejahatan anti-Muslim pada tahun 2000 dan jumlahnya pada tahun 2001, naik hampir 500.
Dikirim bunga oleh pendeta
Sejumlah masjid yang sempat diserang, menurut Shamsi, termasuk yang menutup diri dan tidak berupaya mengenalkan diri ke para tetangga.
"Akhirnya orang yang dibombardir dengan informasi yang salah tentang Islam, jadi curiga… Terkadang ketidaktahuan orang, kebencian orang, disebabkan karena kita yang kurang berinteraksi atau bergaul dengan orang," cerita putra kelahiran Makassar ini.
Namun ia mengatakan masjid Indonesia al-Hikmah yang dipimpinnya, justru didatangi dua pendeta dari gereja yang terletak tak jauh.
"Mereka membawa karangan bunga ke kita, ada masjid yang diserang, tapi masjid kita dibawakan karangan bunga. Pendeta itu mengatakan, `Saya tahu kamu dalam situasi sulit, apa yang dapat kami bantu?`, justru gereja menawarkan."
Melalui kunjungan ini, kata Shamsi, pihaknya kemudian menjalin komunikasi dan dialog.
Imam Shamsi juga merasa dirinya "terekspos".
"Saya sendiri, yang telah tinggal di New York beberapa tahun sebelum Serangan 11 September, terekspos karena sebelumnya saya tak bisa membayangkan berkomunikasi dengan pemeluk agama lain secara masif, bahkan dengan masyarakat Yahudi.