Cerita Imam Indonesia Ketika Citra Islam Ikut Runtuh usai 11 September
- bbc
"Dia mengatakan tiga kali, `Saya tak percaya`, sambil menangis. `Saya tak percaya kalau orang Islam yang melakukan ini. Kalau semua orang Islam seperti kamu tak mungkin dia melakukan itu`," cerita Shamsi mengutip tetangganya.
"Saat dipeluk orang tersebut, betul-betul perasaan saya bercampur aduk, saya memikirkan hari-hari yang akan datang, mencekam," katanya lagi.
Sang tetangga — pemeluk Katolik yang berasal dari Irlandia — sempat dicurigai Shamsi saat awal pindah ke Amerika Serikat pada 1996.
"Saya mengistilahkan, saya diajari menjadi Muslim yang lebih baik, tidak diajari Islam, tetapi diajari menjadi Muslim yang baik," katanya.
Baca juga:
- Apa yang terjadi pada serangan 9/11?
- Kisah agen FBI memburu arsitek serangan 11 September: `Ia lolos ketika sudah hampir tertangkap`
- FBI merilis kembali foto-foto serangan 9/11 di Pentagon
Sejak beberapa tahun sebelumnya, tetangga suami istri yang berusia 70an itu, selalu menyapu di depan rumah, termasuk di depan kediaman keluarga Shamsi.
"Ada kecurigaan di benak saya, ini non-Muslim, tapi kok baik sekali, menyapu depan rumah saya… Awalnya kita tidak pernah interaksi dengan non-Muslim, saya jadi curiga, sebentar lagi mereka akan menggoda saya. Ternyata berhari-hari, berbulan-bulan kemudian, mereka tak pernah ngomong soal agama."
Sikap tetangganya ini, kata Shamsi, justru, "mengingatkan saya, arti agama yang sesungguhnya. Agama itu bukan yang kita lakukan di rumah-rumah ibadah, tapi agama itu adalah apa yang kita lakukan di tengah masyarakat, menampilkan perilaku yang baik."
"Dua hal ini adalah pelajaran penting yang saya bawa dalam langkah dakwah-dakwah saya di Amerika. Betapa banyak teman-teman kita di luar sana yang salah paham dan kewajiban kita untuk memberitahu Islam yang sesungguhnya.
"Yang paling efektif bukan ceramah berapi-api tapi bagaimana menampilkan Islam dengan perilaku dan karakter," katanya lagi.
"Islam ketika itu sedang runtuh juga"
Tantangan, "paling berat" menyusul Serangan 11 September, kata Shamsi, adalah "persepsi yang terbalik, bagaimana ketika orang Muslim duduk di subway (kereta bawah tanah), di bus, orang pasti akan berpikir, subway akan diledakkan atau dia akan menusuk orang."
"Luar biasa citra yang terbangun ketika itu," kata Shamsi — yang disebut dalam New York Magazine, terbitan Mei 2006, sebagai salah seorang pemuka Islam berpengaruh.