Ribuan Konten Penyiksaan Binatang di Medsos Berasal dari Indonesia
- abc
PERHATIAN: ARTIKEL INI MEMUAT BEBERAPA FOTO YANG MUNGKIN DAPAT MENIMBULKAN KEGELISAHAN PADA PEMBACA
Ketika Boris, Mona, dan Boim tiba di rumah baru mereka, para perawatnya menerima teriakan dan perlawanan dari ketiganya.
Ketiga anak monyet yang kini berusia dua tahun tersebut telah mengalami tindakan kekerasan, setidaknya setengah masa hidup mereka.
"Dulu yang merawatnya kasih petasan, kasih cabe. Ya mungkin mereka tiap lihat manusia berpikir, 'Ini apa lagi? Dia mau lakukan apa lagi?'" kata Femke den Haas, salah satu pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN) yang menampung ketiga satwa itu.
Bulan Januari lalu, wajah ketiga monyet ini muncul dalam konten pemilik akun Youtube bernama "Abang Satwa".
Menurut siaran pers dari Suku Dinas KPKP Jakarta Selatan Februari lalu, akun tersebut mengunggah ratusan video yang "mengeksploitasi monyet".
Setelah rumah pelaku didatangi polisi, Boris, Mona, dan Boim akhirnya dipindahkan ke pusat penyelamatan satwa liar JAAN untuk menjalani masa perawatan.
Saat ini, ketiganya sudah "lebih tenang dan percaya diri", namun masih harus melalui proses rehabilitasi, yang menurut Femke, akan memakan waktu panjang.
"Yang menjadi masalah dengan monyet-monyet seperti Mona, Boris, dan Boim [adalah] mereka sudah kehilangan kepercayaan diri," kata Femke.
"Jadi dengan monyet lain pun mereka takut dan perlu waktu untuk memperkenalkan mereka ke satwa sejenis."
Ada ribuan konten kekerasan binatang berasal dari Indonesia
Boris, Mona, dan Boim adalah bagian dari banyaknya hewan di Indonesia yang penderitaannya disaksikan banyak pengguna media sosial dari seluruh dunia.
Agustus lalu, Koalisi Kekerasan terhadap Binatang di Media Sosial (SMACC) menemukan ada5.480 konten kekerasan binatang di Youtube, Facebook atau TikTok selama setahun terakhir.
Sebanyak 2.232 video tidak memuat informasi dari negara mana video tersebut diunggah, namun 1.626 di antaranya berasal dari Indonesia.
Namun SMACC menekankan "lokasi" yang dicantumkan pemilik akun seringkali tidak sesuai kenyataan.
"Secara proporsi, konten dari Indonesia memang lebih banyak dalam pengumpulan data kami ... tapi seperti yang bisa dibayangkan, 'sumur' konten kekerasan binatang istilahnya 'dalam sekali' dan bersumber dari seluruh dunia," kata juru bicara SMACC.
"SMACC tidak mengatakan Indonesia adalah negara penghasil konten kekerasan binatang terbanyak di dunia.
"Tapi kami hanya menyatakan bahwa berdasarkan data kami, konten yang terkait dengan Indonesia lebih banyak dibandingkan negara lain."
Kepala Bidang Kampanye World Animal Protection, Ben Pearson, yang juga berpartisipasi dalam laporan tersebut, juga menambahkan perspektifnya.
"Hal ini menunjukkan bahwa pembuat konten di Indonesia meraih keuntungan dari melakukan tindak kekerasan," kata Ben.
SMACC menyebutkan pengertian kekerasan terhadap binatang adalah rangkaian tindakan manusia, baik sengaja atau tidak, yang menyakiti dan berdampak secara langsung atau jangka panjang, fisik, emosi, atau psikologis kepada binatang.
Tindakan yang tercatat dalam kategori ini antara lain penguburan binatang, penyiksaan peliharaan, membakar hewan, dan video penyelamatan palsu, yang tersebar bebas di media sosial.
Ben mengatakan konten kekerasan terhadap monyet jenis makaka ekor panjang adalah yang paling "merajalela" di Indonesia.
"Konten ini menggambarkan bayi makaka yang diambil paksa dari induknya dan dipelihara di tempat yang tidak layak, lalu terus-terusan disiksa," kata Ben.
Ia menyayangkan bagaimana keberadaan media sosial turut berperan dalam menjadikan binatang sebagai "korban tak bersuara dari keinginan mendapatkan 'klik' dan uang dari iklan".
"Pembuat video sejenis ini menyadari keuntungan dalam hal keuangan dari sengaja menempatkan hewan dalam situasi menakutkan dan penuh tekanan, lalu merekam reaksi mereka," katanya.
"Konten seperti ini memungkinkan penganut fetish kekerasan binatang untuk terhubung dan mempertahankan tindakan keji mereka sampai ke titik yang memuakkan."
Hukum di Indonesia 'kurang kuat' untuk lindungi hewan
Pemilik akun sekaligus pelaku kekerasan terhadap Boris, Mona, dan Boim dijatuhkan hukuman 15 hari penjara dengan denda Rp402 ribu.
Hukuman tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 9 April lalu berdasarkan Pasal 66 ayat 2 UU 18 tahun 2009 dan UU Nomor 41 tahun 2014, yang merupakan hasil revisi dari UU 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesejahteraan Hewan.
Salah satu poin dalam UU Nomor 18 tahun 2009 menyebutkan "(c) pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan serta rasa takut dan tertekan;".
Penelusuran ABC Indonesia juga menemukan aturan lain yang melindungi hewan, seperti Pasal 302 KUHP dengan ancaman penjara tiga bulan bagi pelaku penganiayaan ringan pada hewan.
Menurut Femke dari organisasi perlindungan hewan JAAN, Undang-undang perlindungan hewan di Indonesia "cukup jelas" namun masih "kurang kuat".
"Memang ada regulasinya terhadap kesejahteraan dan kekerasan hewan, cuma ya penalty [hukuman]nya atau yang harus dipenjara itu tiga bulan, tapi jumlah uang yang dibayar sebagai orang yang tertangkap itu sangat rendah," katanya.
"Sebenarnya UU-nya ada, cuma tinggal kita mau implementasikan atau tidak … jadi UU-nya ada, tapi jarang sekali dipakai."
Ia pun menambahkan Undang-undang yang ada sudah seharusnya "diperbaharui" dan "disosialisasikan".
"Sampai sekarang kita sering dapat tanggapannya, 'oh kita belum bisa implementasikan karena kurang tersosialisasinya kesejahteraan satwa'," tambah Femke mengenai tanggapan pihak berwajib menanggapi laporan kekerasan terhadap binatang.
Padahal menurutnya, Indonesia sudah sangat siap untuk menjadi lebih proaktif dalam hal kesejahteraan satwa.
Ini mengingat banyaknya masyarakat yang turut melaporkan kekerasan yang dilakukan akun "Abang Satwa" kepada JAAN sebelum akhirnya ditindak hukum.
"Kalau kita lihat, baca dari publik, masyarakat yang peduli terhadap satwa sangat-sangat meningkat. Jadi perhatian masyarakat sendiri sudah mulai ada," katanya.
"Sekarang tinggal dari otoritas apakah memang mau mengimplementasikan regulasi yang ada dan seharusnya di-upgrade [dikembangkan] lagi."
ABC Indonesia sudah menghubungi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan namun tidak menerima jawaban.
Apa yang bisa dilakukan saat menonton konten kekerasan pada binatang?
Femke mengatakan selain kepada organisasinya, masyarakat yang mengetahui tindakan kekerasan pada binatang bisa melaporkannya pada pihak berwajib.
"Kalau di Jakarta saya rekomendasikan, karena selama ini yang paling responsif itu dari Pemda DKI, nanti tergantung wilayahnya, untuk kontak Dinas Pertanian dan Peternakan di tempat," katanya.
"Juga lapor ke polisi, karena semakin sering orang melapor, semakin lebih banyak perhatian dari polisi juga akan kasus-kasus kekerasan satwa."
Mengenai konten kekerasan terhadap binatang yang tersebar online, Ben dari World Animal Protection mendorong aksi dari perusahaan media sosial besar yang memuat video tersebut.
"Inilah mengapa perusahaan media sosial besar perlu memiliki kebijakan lebih kuat," katanya.
"Mereka perlu bekerja sama dengan pihak berwajib di tempat konten tersebut berasal, sehingga penyiksaan binatang bisa berhenti."
Ia mengatakan, dari 60 video kekerasan binatang yang dilaporkan para peneliti SMACC di Youtube, Facebook, dan TikTok pada 2 dan 8 Agustus, hanya dua di antaranya yang sudah diturunkan.
"Ini membuktikan bahwa perusahaan-perusahaan ini tidak hanya dapat mengandalkan penonton untuk melaporkan kekerasan pada binatang," ujarnya.
Femke berharap tidak akan ada lagi binatang yang bernasib sama dengan Boris, Mona, dan Boim.
Pihak JAAN hingga kini masih berusaha untuk membantu proses pemulihan ketiga satwa malang itu.
"Kepercayaan diri mereka itu sudah dirusak oleh orang yang tidak bertanggung jawab," katanya.
"Dan adalah tugas kami untuk gimana caranya mereka bisa percaya diri, kembali biar lebih happy dalam hidup, tidak depresi, karena kalau sudah percaya diri baru dia bisa kenalan dengan monyet lain, baru dia bisa bentuk keluarga baru."