Logo ABC

Kisah Pencari Suaka Afghanistan di KM Palapa 20 Tahun Lalu

Dua puluh tahun lalu, 433 pencari suaka berhasil diselamatkan oleh kapal berbendera Norwegia, Tampa, setelah perahu yang mengangkut mereka dari Indonesia mengalami masalah saat menuju ke Australia. (AAP)
Dua puluh tahun lalu, 433 pencari suaka berhasil diselamatkan oleh kapal berbendera Norwegia, Tampa, setelah perahu yang mengangkut mereka dari Indonesia mengalami masalah saat menuju ke Australia. (AAP)
Sumber :
  • abc

Tepat dua puluh tahun lalu, Christian Maltau, komandan kapal kontainer Norwegia MV Tampa, membantu menyelamatkan 433 orang pencari suaka dari perahu KM Palapa. 

Ia tak pernah menduga apa yang akan terjadi selanjutnya.

Penyelundupan manusia dengan KM Palapa yang berangkat dari Indonesia ini memicu perdebatan selama berbulan-bulan menjelang Pemilu Australia tahun 2001.

Hari ini 26 Agustus, 20 tahun setelah kejadian, Christian Maltau dan kapten Tampa menjelaskan mereka tadinya hanya menanggapi panggilan darurat dari sebuah kapal.

"Kami berlayar dari Fremantle [Australia Barat] menuju Singapura, dan menerima pesan dari Penjaga Pantai Australia yang menyampaikan adanya kapal perahu dalam bahaya membawa 80-an orang," kata Christian kepada ABC.

Mereka ternyata menemukan 433 orang di atas kapal penangkap ikan di tengah Samudra Hindia. Dia pun sekuat tenaganya membantu mereka semua, satu per satu, menaiki tangga MV Tampa.

Tapi itulah awal dari Insiden Tampa.

'Amankah kalau kita naik?'

Saat Christian dan anak buah kapal (ABK) lain mulai memindahkan para pencari suaka, kondisi di atas KM Palapa sangat mengenaskan.

"Sangat mengenaskan. Saya sangat kaget melihatnya," ujarnya.

Kondisi mengenaskan ini dibenarkan oleh Abbas Nazari yang saat itu berusia tujuh tahun.

Dia sudah merasakan ketidaknyamanan saat menaiki KM Palapa dari pelabuhan Jakarta, setelah sebelumnya tiba dari Afghanistan.

Abbas bersama orangtua dan empat saudaranya melarikan diri dari pemerintahan Taliban saat itu.

"Perahu kayu ini merupakan kapal nelayan yang sudah reyot," kenang Abbas, kini berusia 27 tahun.

"Semua orang bertanya, inikah perahu kita? Mereka menjawab, itulah yang Anda bayar," katanya.

"Kami langsung menyadari banyak sekali orang di atas kapal. Orang berdebat, amankah kalau kita naik? Bisakah kapal ini berlayar, apakah kita telah ditipu?" papar Abbas.

Namun dia dan keluarganya tidak punya pilihan terbaik.

"Apakah kami harus bertahan di kampung kami dan berharap bisa bertahan hidup? Mungkin Taliban akan menyelamatkan kami  atau membunuh kami di bawah todongan senjata," katanya.

"Kami mempertaruhkan hidup untuk sampai ke sana (Jakarta). Kami telah menempuh perjalanan darat dan laut, melintasi pegunungan, dan sekarang tiba pada langkah terakhir. Apakah akan naik perahu yang mungkin mengantar kami ke keselamatan dan keamanan, dan mungkin juga tidak? Atau kami harus tinggal di sana karena takut tenggelam?" tutur Abbas.

Akhirnya, satu per satu pencari suaka itu pun mulai menaiki KM Palapa.

"Saat itulah perjalanan kami ke Australia benar-benar dimulai," kata Abbas.

"Perjalanan menemukan kehidupan baru".

Mesin KM Palapa mati setelah 24 jam

Dua puluh empat jam setelah KM Palapa meninggalkan Indonesia, mesinnya mati.

Tidak ada radio di perahu itu dan tidak ada daratan yang terlihat. Posisinya di tengah samudera.

"Kami seperti mainan terombang-ambing di samudera yang luas itu," kata Abbas Nazari.

Dia masih ingat badai topan menerjang dan air laut mulai merembes ke dalam perahu.

"Semua orang mengalami mabuk laut. Ada yang muntah. Kotoran berserakan dimana-mana. Saat itulah semua orang berpikir, inilah waktunya," katanya.

"Ayah terus memegang saya. Dia melingkarkan ikat pinggangnya di salah satu balok, dan saya ingat orang-orang tua memegang anak-anak mereka sembari terus berdoa," tutur Abbas.

Ada satu pesawat penjaga pantai Australia sempat terlihat tetapi kemudian menghilang.

Namun, pada putaran kedua, pesawat itu melihat tanda SOS yang dibuat oleh para pencari suaka dari kerudung perempuan dan oli mesin untuk menulis minta bantuan.

Ketika permintaan SOS dikeluarkan oleh penjaga pantai, MV Tampa hanya berjarak empat jam dari lokasi.

Abbas masih ingat betul kedatangan Christian Maltau.

"Sebuah tangga diturunkan dan yang pertama turun adalah Christian Maltau. Dia bilang, 'Oke teman-teman, ayo naik satu persatu'," kenang Abbas.

Christian mengaku kaget dengan begitu banyaknya orang yang terus muncul dari dalam palka KM Palapa.

"Saat kami mulai mengevakuasi orang-orang, sepertinya orang yang keluar dari perahu itu tak selesai-selesai," kata Christian.

Akhirnya, setelah semua pencari suaka diselamatkan dari KM Palapa, MVTampa pun berangkat ke daratan terdekat, "yang kebetulan adalah Pulau Christmas", katanya.

Ternyata mereka berlayar langsung ke tengah-tengah perdebatan isu imigrasi yang sedang berlangsung di Australia.

Tak Ingin Kembali ke Indonesia

Pemerintahan John Howard saat itu "sama sekali tidak senang" tentang keputusan kapten MV Tampa berlayar ke Pulau Christmas yang merupakan wilayah Australia.

Hal ini diungkapkan oleh Peter Mares, jurnalis dan penulis buku Borderline: Tanggapan Australia Terhadap Pencari Suaka dan Pengungsi Setelah Tampa.

"Mereka menyampaikan ke kapten Tampa (Arne Rinnan) bahwa dia harus membawa pencari suaka ini ke Pelabuhan Merak di Indonesia," kata Peter.

Philip Ruddock, menteri imigrasi Australia saat itu, mengatakan, saat MV Tampa membelok arah ke Indonesia, "orang-orang di kapal itu berkata kepada kapten, 'tidak, bukan ke situ tujuan kami'.

Philip Ruddock menyebut hal itu disampaikan sebagai tuntutan, bukan permintaan.

"Informasi yang kami terima adalah bahwa kapten Tampa berada di bawah tekanan," katanya.

Abbas menegaskan para penumpang yang diselamatkan oleh Tampa ini memang tidak ingin kembali ke Indonesia.

Dia menyebut perwakilan pencari suaka menyampaikan kepada ABK Tampa, dalam bahasa Inggris seadanya:

"Tidak ada apa-apa bagi kami di Indonesia. Kami telah mempertaruhkan semuanya untuk sampai sejauh ini. Pulau Christmas adalah pelabuhan terdekat. Bawalah kami ke sana".

"Jangan lupa orang-orang ini baru saja melewati tiga hari di atas kapal penangkap ikan. Mereka hampir mati, isi kantong sudah kosong, semua tabungan sudah dipakai. Kami sekarang sangat dekat dengan tempat yang kami inginkan. Tentu saja akan timbul suasana tegang," kata Abbas.

Christian Maltau mengaku sangat kaget dengan tanggapan dari para pencari suaka yang dia diselamatkan itu.

"Mereka mengancam akan loncat ke laut, mengancam akan membuat kerusuhan. Mereka cukup kasar," ujarnya.

"Kami menganggap itu sangat aneh. Kami baru saja membantu mereka. Kami sangat bersahabat. Tapi mereka begitu agresif, sangat agresif. Memang kami tidak pernah merasa benar-benar terancam, tapi semua yang terjadi sangat membingungkan," papar Christian lagi.

Kapten Arne Rinnan dalam konferensi pers saat itu mengatakan, di tengah kemarahan para penumpang, dia memutuskan memutar kembali kapalnya menuju ke Pulau Christmas.

Christian memberikan penjelasan tambahan.

"Kami baru menyadari bahwa kami tidak dapat menyeberangi samudera dengan 433 orang di kapal kargo yang hanya memiliki dua sekoci dan peralatan keselamatan untuk 30 ABK dan 12 penumpang saja," katanya.

"Kami ingin menyatakan bahwa kami tidak layak laut, jadi tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Pemerintah Australia," tegasnya.

Tapi Kapten Arne diperingatkan bila nekat memasuki zona 12 mil laut Australia, dia bisa dituntut pidana. Akibatnya, dia memutuskan menghentikan kapalnya tepat di luar zona itu. Lalu menunggu.

Kedua pihak menolak untuk mengalah

Kesehatan beberapa pencari suaka yang diselamatkan di atas Tampa mulai memburuk. Persediaan medis telah diminta oleh Tampa, namun menurut Peter Mares, tidak ada bantuan yang datang. Dia menyebut ada alasan politik di baliknya.

Pemilu federal dijadwalkan akan berlangsung pada akhir tahun dan Pemerintahan John Howard saat itu sedang rendah dukungannya.

"Ada alasan politik untuk mengambil sikap seperti itu karena pandangan umum terhadap pencari suaka di Australia sangat negatif," kata Peter.

"Jadi ada perasaan bahwa jika Howard dapat menggunakan kesempatan untuk menentang masuknya MV Tampa, hal itu akan menguntungkan dia secara politik," jelasnya.

Menurut Christian Maltau, pemerintah Australia "membuat kami sangat kesulitan karena mereka hanya ingin menyuruh kami pergi".

"Itu adalah isyarat yang sangat agresif dari pihak Australia, dan kami tidak menyangka akan seperti itu," katanya.

Di atas Tampa, ada pencari suaka yang sudah hampir melahirkan, ada pula orang yang dirawat oleh ABK dengan persediaan infus yang sudah habis.

"Kondisinya darurat medis," kata Christian yang bertanggung jawab dalam urusan medis di kapal.

Namun Menteri Philip Ruddock membantah adanya permintaan bantuan medis yang diabaikan pemerintah.

Christian menggambarkan situasinya sebagai "kebuntuan berkepanjangan", dan mengatakan kebutuhan adanya dokter semakin mendesak.

Setelah berlangsung tiga hari, pada tanggal 29 Agustus, kapten Arne Rinnan pun mengarahkan MV Tampa menuju Pulau Christmas, menempatkan kapal ini di perairan Australia, meskipun ada perintah untuk tidak melakukannya.

Saat itulah pasukan khusus Australia SAS muncul dengan kapal militer.

"Ada tiga atau empat kapal militer yang mendekati kami dengan cepat, dengan satu atau dua orang di setiap kapal," kata Christian.

"Mereka bilang akan keluar dengan persediaan medis, dan kami harus menyiapkan tangga," katanya.

Ternyata itu hanya tipu muslihat.

"Ketika mereka muncul di samping Tampa, kami melihat kapal mereka memiliki kanvas dan di bawah kanvas ada banyak tentara. Lalu mereka naik," kata Christian.

Pasukan khusus ini diterjunkan untuk memastikan Tampa tidak sampai ke Pulau Christmas.

Kapten Arne Rinnan kemudian diperintahkan oleh pemerintah Australia untuk mengembalikan Tampa ke perairan internasional. Tapi dia menolak.

Peter Mares mengatakan sengketa diplomatik sudah berlangsung sengit saat itu.

"Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi memberitahu Australia agar izinkan pencari suaka ini mendarat dan diproses. PBB berjanji akan membantu Australia menemukan negara lain untuk menempatkan jika mereka benar pengungsi," katanya.

Norwegia dan Selandia Baru bahkan telah setuju untuk menerima beberapa pencari suaka. Kanada dan Inggris juga sedang membahas kemungkinan itu.

"Tetapi pemerintah Australia mengatakan tidak," katanya.

Menurut Peter, baik Partai Liberal mapun Partai Buruh yang beroposisi saat itu, sebagian besar sepakat tentang masalah ini.

"Masyarakat Australia menghendaki tindakan tegas. Tak ada keraguan soal itu. Karena situasi yang digambarkan media, politisi Liberal maupun Buruh akan bersikap inilah yang diinginkan warga Australia. Mereka ingin kita tegar. Mereka ingin kita menghentikan kapal ini," paparnya.

Padahal Australia secara sukarela telah menandatangani Konvensi Internasional tentang Pengungsi beberapa dekade sebelumnya

Menemukan solusi

Pemerintah mulai putus asa mencari solusi, apa yang harus dilakukan dengan para pencari suaka di atas MV Tampa.

Menurut Peter Mares, pemerintah lantas mengambil tindakan luar biasa dengan mengeluarkan Pulau Christmas dan Ashmore Reef dari zona migrasi Australia.

Artinya, siapa saja orang asing yang tiba di sana dengan perahu tidak bisa lagi mengklain suaka di Australia.

Lalu, ada pula kebijakan yang kemudian dikenal dengan Solusi Pasifik.

"Diplomat Australia, khususnya di Pasifik, dikirim ke negara lain untuk membuat kesepakatan dengan negara-negara kepulauan Pasifik agar menerima para pencari suaka ini atas nama Australia," jelas Peter.

"Pada akhirnya, negara yang berhasil diyakinkan untuk menerima pencari suaka adalah Nauru," tambahnya.

Kesepakatan itu dicapai pada 2 September, dan sebagian besar pencari suaka di atas Tampa dibawa ke pulau itu untuk diproses.

Pemimpin Oposisi saat itu, Kim Beazley mengatakan, solusi ini "sangat tidak bermartabat" untuk bangsa yang seharusnya bisa "mengatasi masalahnya sendiri".

Namun dia mengatakan tidak keberatan dengan pemrosesan pencari suaka di luar negeri dari perspektif HAM atau hukum internasional.

"Suatu negara berhak untuk mengontrol perbatasannya. Bagaimana kita bisa secara moral membenarkan satu pelanggaran seperti itu untuk mencapai Australia. Tak bisa dibenarkan. Cukup dipahami secara moral bila kita menghentikannya," kata Kim Beazley.

Tanggapan pemerintah lainnya terhadap kasus Tampa adalah Operasi Relex.

Operasi perlindungan perbatasan oleh Angkatan Bersenjata Australia merupakan "tanggapan militer atau Angkatan Laut untuk menghentikan kapal yang tiba" dengan memaksa kapal itu kembali ke asalnya.

Warisan dari Insiden Tampa

Peter Mares berpendapat bahwa kasus Tampa "merusak" komitmen Australia terhadap Konvensi Internasional tentang Pengungsi.

"Warisan Tampa yaitu Australia sekarang memiliki kebijakan di mana setiap pencari suaka yang tiba dengan kapal akan ditahan di negara lain," katanya.

Insiden ini juga berimplikasi global. Australia, kata Peter, telah memberikan contoh "bahwa negara mana pun harus melakukan apa pun untuk menghentikan orang yang masuk, sehingga mereka tidak harus menghormati kewajiban di bawah Konvensi".

Philip Ruddock mengatakan tanggapan pemerintah terhadap Tampa, khususnya setelah peristiwa serangan teroris 11 September, bulan berikutnya, di New York, "memperkuat pandangan saya, bahwa kita bukan hanya perlu meyakinkan diri sendiri tentang orang-orang yang mengklaim suaka, tapi juga perlu menyakini jangan sampai ada orang dengan tujuan lain yang lolos".

Mayoritas pencari suaka itu ditahan di Nauru, menunggu selama bertahun-tahun sementara klaim mereka diproses. Hanya puluhan orang yangf berhasil datang ke Australia, sementara yang lain kembali ke Afghanistan.

Selandia Baru menerima 131 orang, terutama wanita, anak-anak, dan keluarga. Di antara mereka adalah Abbas Nazari dan keluarganya. Untuk itu, dia selalu merasa "sangat berterima kasih" pada Selandia Baru.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.