Logo ABC

Ekonomi Terpukul Vanuatu Jual Kewarganegaraan, Para Buron Membeli

Penjualan status kewarganegaraan Vanuatu mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir, umumnya dibeli oleh warga asal China. (ABC News: GFX/Jarrod Fankhauser)
Penjualan status kewarganegaraan Vanuatu mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir, umumnya dibeli oleh warga asal China. (ABC News: GFX/Jarrod Fankhauser)
Sumber :
  • abc

Vanuatu, sebuah negara di Pasifik, berhasil menjaga perekonomiannya di tengah pandemi melalui skema "Investasi Tunai Untuk Paspor'. Nilainya sekitar Rp2 miliar per paspor.

Dengan hancurnya sektor pariwisata akibat pandemi COVID-19, Vanuatu menghasilkan $175 juta dari program kewarganegaraan kehormatan, atau 35 persen dari total pendapatan negara.

Namun, laporan media The Guardian mengungkap pembeli paspor ini termasuk "sejumlah pengusaha dan individu yang sedang dicari polisi".

Hal itu membuat pemerintah Vanuatu menghadapi pilihan sulit antara potensi sanksi internasional atau kerugian ekonomi.

Menjadi warga negara Vanuatu melalui skema investasi, yang dikenal sebagai "Investasi Tunai Untuk Paspor", mulai diperkenalkan pada tahun 2014.

Sebenarnya banyak negara lain memiliki skema serupa, termasuk Australia.

Tapi biasanya, pelamar akan diharuskan menjadi penduduk tetap terlebih dahulu, baru setelah beberapa tahun menjadi warga negara.

Skema yang sudah lama menjadi kontroversi

Di Vanuatu, pelamar bisa menjadi warga negara dalam hitungan bulan dan tidak ada persyaratan untuk tinggal di Vanuatu atau bahkan harus menginjakkan kaki di sana.

Biayanya sekitar AU$S150.000 untuk satu permohonan paspor, sementara  untuk pasangan dan keluarga biayanya lebih mahal lagi.

Sebagian besar paspor, yang memungkinkan akses gratis ke negara Uni Eropa mana pun, dijual kepada orang-orang dari China daratan.

Skema ini telah lama menjadi kontroversi, namun sorotan semakin meluas pada bulan Juli setelah laporan The investigasi diterbitkan.

Pekan lalu, pemerintah Vanuatu mengatakan kewarganegaraan Vanuatu dari seorang pengusaha Suriah yang disebutkan dalam laporan tersebut, Abdul Rhama Khiti, sudah dicabut.

Ketua Komisi Kewarganegaraan Vanuatu, Ronald Warsal, mengatakan kepada ABC bahwa Pemerintah Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi terhadap bisnis milik Abdul hanya beberapa minggu setelah dia mengajukan permohonannya.

"Setelah artikel itu terbit di The Guardian dan selama penyelidikan oleh Unit Intelijen Keuangan kami, paspornya diputuskan untuk dicabut dan uang yang telah dia bayarkan dinyatakan hangus," kata Ronald.

Dia mengatakan pemerintah sedang menyelidiki lebih banyak lagi kasus yang disebutkan dalam artikel The Guardian dan kasus lainnya yang tidak dilaporkan.

"Kami ingin memastikan bahwa orang yang datang ke Vanuatu, yang memperoleh kewarganegaraan Vanuatu, tidak dicari di luar negeri dan bukan buronan," jelasnya.

Sejumlah konsekuensi negatif 

Direktur Transparency International Vanuatu, Willie Tokon, memperkirakan pengusaha asal Suriah itu mendapatkan persetujuan sejak awal dan kewarganegaraannya baru dicabut setelah menjadi laporan media.

Dia mengatakan jika Vanuatu tidak memiliki kapasitas untuk memeriksa pelamar secara menyeluruh, seharusnya mencari bantuan dari Interpol dan lembaga lainnya.

"Jika tidak memiliki kapasitas, kita mendapat dukungan kuat dari pemerintah Australia," katanya.

Tapi Ronald mengatakan pemerintah Vanuatu memiliki sistem untuk melakukan pemeriksaan karakter terhadap pelamar paspor.

"Kami memang membuat keputusan akhir, tapi itu melalui proses tertentu," katanya.

Profesor Stephen Howes dari Australian National University mengatakan kesalahan penanganan program kewarganegaraan dapat memiliki beberapa konsekuensi negatif bagi Vanuatu.

Profesor Howes mengatakan Vanuatu dapat dilihat sebagai negara yang "berisiko" bagi bank, atau bahkan ditambahkan ke daftar hitam pencucian uang, sehingga mengancam kemampuan negara itu mengakses keuangan internasional.

"Hal itu akan semakin mengisolasi dan mempersulit Vanuatu dalam membangun hubungan keuangan internasional," katanya.

Selain itu, menurut Profesor Howes, nilai paspor Vanuatu akan sangat menurun sehingga menyulitkan warganya untuk bepergian ke negara lain.

"Warga Vanuatu mungkin juga menderita jika negara lain memutuskan bahwa mereka tidak percaya bahwa pemegang paspor Vanuatu yang valid, padahal dia adalah warga negara Vanuatu yang sah," katanya.

Di sisi lain, jika Vanuatu menghentikan penjualan paspor ini, maka mereka akan kehilangan pendapatan yang dibutuhkan selama krisis ekonomi terkait pandemi.

Profesor Howes mengatakan pemerintah perlu mereformasi dan memperketat proses permohonan paspor.

Pembatalan paspor pengusaha asal Suriah seperti yang dialami Abdul, katanya, akan menunjukkan bahwa Vanuatu "tidak akan mengambil sembarang orang menjadi warganya".

Ditambahkan, tak semua orang yang menginginkan kewarganegaraan Vanuatu dan mampu membelinya merupakan orang yang berkarakter buruk.

"Perhatikan faktor ketidakpastian di China, sehingga beberapa orang di sana hanya menginginkan adanya jaring pengaman," katanya.

"Jadi menurut saya, seseorang tidak menjadi kriminal hanya karena ingin membeli kewarganegaraan (Vanuatu)," paparnya.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News