Taliban Rebut Lebih Banyak Kota Afghanistan, Joe Biden Dinilai Gagal

Ilustrasi Tentara Afghanistan Berjaga-jaga.
Sumber :
  • Military

VIVA – Kelompok bersenjata Taliban mengklaim telah merebut dua kota terbesar Afghanistan pada Kamis 12 Agustus 2021 waktu setempat, kata sejumlah media. Sementara Amerika Serikat dan Inggris akan mengirim ribuan tentara untuk membantu evakuasi staf kedutaan mereka.

Intelijen Amerika: Rusia Tidak Mungkin Lancarkan Serangan Nuklir!

Penguasaan atas Kandahar dan Herat --kota terbesar kedua dan ketiga di Afghanistan-- menjadi kemenangan terbesar Taliban sejak mereka mulai mengintensifkan serangan pada Mei.

Jatuhnya kota-kota besar adalah tanda bahwa orang-orang Afghanistan menerima Taliban, kata juru bicara kelompok itu seperti dikutip stasiun TV Al Jazeera.

Menteri Ara Setuju Tapera Bersifat Sukarela: Jangan Maksa-maksa

Kecepatan dan kekuatan serangan Taliban telah memicu saling tuduh di antara orang-orang Afghanistan tentang keputusan Presiden Joe Biden untuk menarik pasukan AS dari negara itu, 20 tahun setelah mereka menyingkirkan Taliban usai serangan teroris 11 September di AS.

Biden pada Selasa mengaku tidak menyesali keputusannya, menegaskan bahwa Washington telah menghabiskan 1 triliun dolar dan kehilangan ribuan tentara selama perang paling panjang dalam sejarah AS itu.

Rudal Misterius Hantam Pangkalan Tempur Amerika

Dia juga mengatakan AS terus memberikan dukungan udara, makanan, peralatan, dan gaji bagi tentara Afghanistan.

Pemimpin Partai Republik di Senat AS, Mitch McConnel, mengatakan strategi Biden untuk keluar dari konflik Afghanistan dengan cara semacam itu membawa AS "bergeser menuju sekuel yang lebih buruk dari kejatuhan Saigon yang memalukan pada 1975."

"Presiden Biden mengetahui bahwa cara tercepat untuk mengakhiri sebuah perang adalah kalah," kata McConnel, sambil mendesak Biden untuk memberikan dukungan lebih kepada tentara Afghanistan.

"Tanpa itu, al Qaida dan Taliban akan merayakan 20 tahun serangan 11 September dengan membakar habis kedutaan kita di Kabul."

Mantan juru bicara Kemlu Morgan Ortagus mengatakan langkah Biden adalah "kegagalan besar kebijakan luar negeri dengan konsekuensi generasi, hanya dalam waktu kurang dari tujuh bulan memimpin pemerintahan ini. Segalanya mengarah pada keruntuhan total."

Sebelumnya pada Kamis, Taliban merebut Ghazni, kota yang dilintasi jalan utama antara Kandahar dan Kabul dan berjarak sekitar 150 km barat daya dari ibu kota itu.

Pada Rabu, pejabat pertahanan AS yang mengutip pihak intelijen mengatakan Taliban dapat mengepung Kabul dalam 30 hari dan kemungkinan merebut kota tersebut dalam 90 hari.

Karena jaringan telepon putus di banyak tempat, Reuters tidak bisa segera mengontak pejabat Afghanistan untuk mengonfirmasi kota-kota mana saja yang masih dikendalikan oleh pemerintah.

Kekerasan vs Diplomasi

Dalam perjanjian dengan pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump tahun lalu, Taliban setuju untuk tidak menyerang pasukan asing pimpinan AS saat mereka mundur. Kelompok pemberontak itu juga berkomitmen untuk membicarakan perdamaian.

Melihat cepatnya kemajuan Taliban, prospek bagi tekanan diplomasi untuk mempengaruhi situasi di sana tampaknya terbatas, meski juru bicara Taliban mengatakan pada Al Jazeera: "Kami tidak akan menutup pintu ke jalur politik."

Al Jazeera melaporkan seorang sumber pemerintah mengatakan mereka telah menawari Taliban bagian kekuasaan jika kekerasan dihentikan. Tidak dijelaskan sejauh mana tawaran itu berbeda dari syarat-syarat yang sudah dibicarakan kedua pihak saat berunding di Qatar.

Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengatakan dirinya tidak mengetahui tawaran semacam itu dan menolak pembagian kekuasaan.

"Kami tak bisa menerima tawaran apa pun semacam ini karena kami tidak ingin menjadi mitra pemerintah Kabul. Kami tidak akan tinggal atau bekerja sehari pun dengan (kondisi seperti) itu," kata dia.

Utusan khusus internasional di Doha, yang bertemu dengan perwakilan pemerintah Afghanistan dan Taliban, menegaskan kembali bahwa pemodal asing tak akan mengakui pemerintah mana pun di Afghanistan yang memaksakan penggunaan kekuatan militer. (Ant/Antara)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya