Paspor Vaksin COVID-19 Palsu Dijual Secara Daring Bak Kacang Goreng
- News.sky.com
VIVA – Paspor vaksin virus corona palsu dijual secara daring seperti "kacang goreng" dalam penipuan yang berkembang pesat. Hal itu telah membuat khawatir pihak berwenang di berbagai negara.
Padahal, negara-negara dunia bertaruh pada dokumen paspor vaksin itu untuk menghidupkan kembali perjalanan, dan ekonomi mereka, kata para ahli keamanan dunia maya.
Dari Islandia hingga Israel, sejumlah negara telah mulai mencabut pembatasan perjalanan dan penguncian bagi orang-orang yang dapat membuktikan bahwa mereka telah divaksin. Para pelancong diizinkan mengunjungi tempat-tempat rekreasi atau melakukan perjalanan lintas batas jika mereka menunjukkan surat-surat tanda telah divaksin.
"Orang-orang mencoba mendapatkan izin itu dengan membuat dokumen palsu, yang pada dasarnya membahayakan nyawa orang lain," kata Beenu Arora, kepada Thomson Reuters Foundation dalam sebuah wawancara daring.
Arora adalah pendiri perusahaan intelijen dunia maya bernama Cyble.
"Kami telah melihat ratusan situs di web gelap tempat dokumen-dokumen palsu ini dijual, dengan harga sangat murah," katanya.
Situs gelap adalah bagian dari internet yang berada di luar jangkauan mesin pencari, di mana sebagian besar penggunanya anonim dan sebagian besar pengguna melakukan transaksi atau membayar dengan cryptocurrency, seperti bitcoin.
Cryptocurrency adalah mata uang digital di mana transaksi diverifikasi dan catatan disimpan oleh sistem desentralisasi menggunakan kriptografi, bukan oleh otoritas terpusat.
Arora menyebutkan bahwa sertifikat vaksinasi palsu dapat dibeli secara daring hanya dengan harga 12 dolar AS (sekitar Rp175 ribu). Dia menambahkan bahwa jumlah daftar penjual sertifikat palsu itu telah menjamur sejak pertama kali muncul pada akhir Februari.
Oded Vanunu dari perusahaan keamanan dunia maya Check Point mengatakan, para peneliti di perusahaan tersebut telah menemukan banyak iklan web gelap yang menawarkan dokumen sertifikat vaksinasi palsu yang konon diterbitkan di Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara lain.
"Ada permintaan besar untuk sertifikat palsu itu," kata Vanunu.
Penjualan paspor vaksin palsu itu juga muncul di situs web reguler dan platform e-commerce, kata Chad Anderson, peneliti keamanan senior di DomainTools, yakni sebuah perusahaan intelijen penanganan ancaman dunia maya.
Pekan lalu, 45 jaksa agung dari Amerika Serikat menandatangani surat yang meminta para pemimpin perusahaan Twitter, eBay, dan Shopify untuk segera mengambil tindakan guna mencegah platform mereka digunakan untuk menjual paspor palsu vaksin COVID-19.
"Penipuan pemasaran dan penjualan paspor vaksin COVID palsu mengancam kesehatan komunitas kita, memperlambat kemajuan dalam melindungi penduduk kita dari virus corona, dan merupakan pelanggaran hukum di banyak negara bagian," demikian bunyi pernyataan dari para jaksa agung AS itu.
EBay mengatakan sedang mengambil tindakan signifikan untuk memblokir atau dengan cepat menghapus akun yang menawarkan dan menjual barang-barang kesehatan palsu, termasuk kartu bukti vaksin. Namun, Twitter dan Shopify tidak segera membalas permintaan komentar.
Beberapa hari sebelumnya, Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) mendesak masyarakat untuk tidak mengunggah foto kartu vaksinasi mereka di media sosial dan memperingatkan bahwa informasi tersebut dapat digunakan oleh penipu untuk memalsukan dokumen.
Anderson dari DomainTools mengatakan memalsukan dokumen kertas merupakan hal yang "sangat mudah" dilakukan sekarang ini.
"Itu sepele, apalagi dengan alat pengedit yang kita miliki saat ini," ucapnya.
Vanunu dari Check Point mengatakan bahwa untuk mempersulit tindak pemalsuan, paspor atau sertifikat vaksin harus ditandatangani secara digital dengan kunci terenkripsi menggunakan sistem kode QR yang serupa dengan yang diadopsi di Israel.
Setelah dipindai, kode tersebut akan mengungkapkan informasi vaksin serta nama pemegangnya agar dapat diperiksa dan dicocokkan dengan dokumen identitas. Namun, untuk sistem seperti itu dapat bekerja untuk perjalanan internasional, negara-negara harus mau berbagi data, katanya.
China, Bahrain dan beberapa negara lain telah memperkenalkan paspor vaksin, sementara Korea Selatan dan Uni Eropa juga mengumumkan rencana pembuatan dokumen digital untuk tanda bukti seseorang telah divaksin.
Namun, konsep tersebut menghadapi tentangan kuat di beberapa negara lain, termasuk Inggris, di mana lebih dari 70 anggota parlemen menggambarkan gagasan itu sebagai tindakan "memecah belah dan diskriminatif". (Antara/Ant)