Indonesia Diminta Waspada Terhadap Diplomasi Bilateral China

Menlu Retno Marsudi bertemu dengan Menlu China, Wang Yi
Sumber :
  • Dok. Kemlu

VIVA - China baru-baru ini menugaskan Menteri Luar Negeri Wang Yi untuk melakukan kunjungan kerja ke beberapa negara ASEAN salah satunya Indonesia, dan negara-negara di Benua Afrika. Dalam lawatannya, Menlu China menjanjikan Vaksin Sinovac gratis ke sejumlah negara yang dikunjunginya.

Setelah China, AS Juga Dukung Prabowo Terapkan Program Makan Bergizi Gratis di Indonesia

Peneliti Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS), Abubakar Solissa, mengatakan negara-negara yang dikunjungi China termasuk Indonesia, harus mewaspadai maksud dan tujuan lain di balik kunjungan kerja tersebut.

"Yang pasti no free lunch ya, jelas ada tujuan lain di balik bantuan vaksin atau dana besar, seperti menggalang dukungan dan pengaruh. Misalnya dukungan diplomatik apabila ada kritik ke China terkait Uighur, apalagi kalau ada yang mengusulkan resolusi di PBB," kata Abubakar Solissa saat dihubungi wartawan, Senin, 8 Februari 2021.

Kereta Otonom Tanpa Rel Diretur ke China, Kemenhub: Untuk IKN Kita Cari yang Terbaik

Baca juga: Bertemu Menlu China, Menteri Retno Bahas Perdagangan dan Investasi

Saat ini, China masih dirundung berbagai persoalan yang menjadi sorotan dunia seperti diskriminasi Etnis Uighur, konflik dengan Taiwan dan Hongkong, masalah perbatasan dengan India dan terbaru kembali memanasnya rivalitas dengan Amerika Serikat.

Kereta Otonom Tanpa Rel IKN Dikembalikan ke China, OIKN Ungkap Alasannya

Abubakar mengingatkan Indonesia dan negara-negara yang dibantu atau menjalin kerjasama bilateral dengan China agar tidak tergantung apalagi masuk dalam dilema ketergantungan dengan negeri tirai bambu tersebut.

"Indonesia dan negara-negara dunia lainnya jangan berlebihan (bergantung ke China) karena dapat mempengaruhi independensi sikap dalam mengambil kebijakan dalam maupun luar negeri," tuturnya.

Saat ini, sedikitnya 23 negara dunia mengalami kebangkrutan karena tidak dapat membayar apalagi melunasi utang dalam perjanjian kerjasama negara tersebut dengan China.

Sistem utang dan pembayaran yang diterapkan oleh China saat ini disebut dengan Chinese Money Trap, di mana negara peminjam yang tidak bisa mengembalikan jumlah yang telah disepakati, harus menyerahkan wilayah mereka sebagai gantinya kepada China sebagai pemberi modal pembangunan.

"Jika terjebak dalam utang yang tidak dapat dibayar, bisa jadi semi kolonial seperti terjadi di negara Sri Lanka. China memiliki 85 persen saham dan berhak mengelola pelabuhan Sri Lanka yang mereka modali selama 99 tahun. Harus hati-hati, khususnya kita (Indonesia)," katanya.

Selain itu, Abubakar menilai negara yang bekerjasama dengan China bukan hanya akan menghadapi permasalahan ekonomi namun juga persoalan geopolitik dinegerinya.

Hal ini dikarenakan tengah berlangsung rivalitas antara China dengan Amerika, di mana kedua negara tersebut saat ini tengah menggalang negara-negara dunia lainnya agar berada dipihak mereka.

"Ini mirip-mirip perang dingin dulu, masing-masing cari pengaruh mendapatkan negara lain sebagai sekutu. Jangan mau jadi pion dalam pertarungan ini (China-Amerika). Jangan terjebak dalam perang proksi karena dapat terjadi konflik ideologi dalam negeri, ada pro China dan pro Amerika. Bisa konflik internal yang menjurus pada perang saudara, bila tidak diantisipasi," katanya.

Dilansir dari AFP, langkah pemberian gratis vaksin Sinovac menjadi strategi China yang membawa banyak manfaat, di antaranya yaitu mengalihkan kemarahan dan kritik atas penanganan awal China terhadap pandemi COVID-19 dan permasalahan internasional yang melibatkan China.

Selain itu juga, untuk meningkatkan profil perusahaan bioteknologinya dan memperkuat serta memperluas pengaruhnya di Asia dan sekitarnya.

"Tidak diragukan lagi China sedang mempraktikan diplomasi vaksin dalam upaya memperbaiki citranya yang ternoda," kata Huang Yanzhong, seorang rekan senior untuk kesehatan global di Council on Foreign Relations (CFR).

"Cara itu juga menjadi alat untuk meningkatkan pengaruh China di skala global dan mengatasi masalah geopolitik," katanya lagi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya