Logo DW

Lockdown di Jerman: Bagai Kota Zombie, Lewati Valentine di Rumah Saja

privat
privat
Sumber :
  • dw

“Namanya anak-anak biasanya sibuk beraktivitas di sekolah, bermain bebas di luar rumah, kini karena lockdown harus diam di rumah, energi tidak tersalurkan, lari-larian, jerit-jeritan di rumah, orang tua jadi stres,“ keluh Octorina Pelita, perempuan asal Sukabumi yang kini bermukin di Kota Konstanz, Jerman bersama keluarga kecilnya.

“Stresnya luar biasa,“ ujar suaminya, Mohamad Ridwan menimpali, “Sekarang kita tidak bisa berbuat banyak.“ Keduanya khawatir ada tetangga yang mengeluh apalagi ada waktu di mana diharapkan suasana tenang, misalnya hari Minggu. “Sampai takut dilaporkan ke polisi,“ kata Octorina sambil berderai tawa dipeluk suaminya, mengingat cukup berat bagi mereka menenangkan anak-anaknya yang cukup aktif.

Mulai pertengahan Desember 2020, Jerman kembali menerapkan lockdown ketat tahap kedua demi meredam penyebaran COVID-19. Karantina wilayah berlaku hingga pertengahan Februari 2021.

Ridwan menjelaskan, sebagai warga negara asing, mereka membuktikan bisa mematuhi dengan saksama peraturan yang berlaku di Jerman.

Hal senada diungkapkan Daniel, yang kini bermukim di Kota Köln, Jerman. "Ya karena sebagai orang asing, kita tidak mau dicap tak tahu aturan, jadi bisa dibilang saya sangat displin karena malu kalau sampai orang lihat saya melanggar aturan lalu dicap orang asing tak tahu aturan. Jadi selama lockdown ya saya benar-benar di rumah saja, hanya keluar belanja. Pakai masker yang benar dan jaga jarak. Dsiplin, pokoknya. Selain takut kena virus ya itu tadi, biar orang tahu kami orang asing juga taat hukum, lebih taat bahkan.”

Kedisplinan itu pula yang diterapkan oleh Sharen Song, mahasiswi asal Indonesia di Frankfurt, demi menjaga kesehatannya dan orang di sekitar. “Tapi kesalnya, orang-orang di luar ada saja yang tidak disiplin dan dan kadang kalau antre di toko atau supermarket tak pakai jarak. Sekarang ini harus pakai masker medis (Ffp2) tapi mereka tak peduli tetap pakai masker kain, dan stasiun kereta masih penuh meski lockdown. Sebenarnya jika masyarakat bisa tahan tak bertemu orang-orang selama beberapa minggu seperti yang diminta pemerintah mungkin bisa menolong menurunkan angka COVID-19, ya,” uangkapnya dengan jengkel.

Sampai harus terapi psikologi