Kudeta Militer Munculkan Ancaman Konflik Antaretnis di Myanmar
- dw
Sebanyak 20 kelompok pemberontak etnis di Myanmar saat ini berperang melawan militer demi hak otonomi khusus bagi wilayah perbatasan terluar Myanmar. Perang saudara antara lain berkecamuk di negara bagian Shan, Kachin, Karen dan Rakhine.
Myanmar adalah sebuah negara multietnis yang didominasi etnis Bamar. Mereka mewakili hampir 70% populasi penduduk, dan mendiami wilayah paling subur di Myanmar di sekitar sungai Irrawady.
Jatuhnya pemerintahan sipil di Myanmar sebabnya dikhawatirkan bakal menghentikan tren desentralisasi dan mengakhiri proses damai yang rapuh. Sejak tahun 1949 pemerintah pusat Myanmar terlilit perang tanpa henti dengan berbagai kelompok etnis di seluruh penjuru negeri.
Kebanyakan menuntut otonomi luas, seperti yang dijanjikan ayah Aung San Suu Kyi, Jendral Aung San, dalam Perjanjian Panglong 1947, yang menyepakati sistem pemerintahan federal dengan hak penuh bagi etnis minoritas. Aung San dibunuh tidak lama setelah membubuhkan tandatangannya.
Selama puluhan tahun setelahnya, kekuasaan para jendral membuahkan ragam catatan pelanggaran HAM berat, mulai dari pembunuhan ekstra yudisial, pemerkosaan massal atau pemusnahan desa-desa penduduk.
"Ketika militer Myanmar datang, warga etnik Shan, Kachin, Mon, Karen dan lainnya akan lari ke hutan,” kata Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Asia. "Kejahatan terhadap warga etnis oleh militer menyebar luas, sistematis dan dilakukan dengan impunitas.”
Kejahatan HAM
Saat proses demokratisasi dimulai 2011 silam, sejumlah kelompok menyepakati gencatan senjata dengan pemerintah. Pada 2015, tokoh-tokoh etnis minoritas dan pemerintah sipil menyepakati perjanjian gencatan senjata nasional. Di tahun yang sama, kelompok-kelompok etnis Myanmar menggelar konferensi damai untuk mengenang Perjanjian Panglong.