Logo DW

Kremasi Paksa di Sri Lanka Picu Kemarahan Umat Beragama

Eranga Jayawardena/AP Photo/picture alliance
Eranga Jayawardena/AP Photo/picture alliance
Sumber :
  • dw

"Kami takut dan tidak punya pilihan lain. Itu terpaksa kami lakukan," kata Mazeer. Keluarga mencari keadilan dan menginginkan penyelesaian segera atas masalah tersebut.

Pada bulan akhir tahun lalu, kremasi paksa bayi berusia 20 hari tanpa persetujuan keluarga memicu kemarahan nasional. Sedangkan kedua orang tua bayi tersebut dinyatakan negatif COVID-19.

Ada juga kasus kremasi paksa di mana pihak berwenang kemudian mengakui korban yang meninggal tidak terinfeksi virus corona. Kasus-kasus seperti itu tidak hanya membuat marah kelompok minoritas Sri Lanka tetapi juga memicu masalah terkait perbedaan agama dan etnis di negara tersebut.

Aktivis hak asasi manusia mengatakan bahwa pemerintah Sri Lanka telah mengadopsi berbagai kebijakan yang mendiskriminasi minoritas Muslim dan Tamil. "Bagi keluarga yang sudah berduka karena kehilangan orang yang dicintai, pembuangan jenazah secara paksa oleh pemerintah Rajapaksa dengan cara yang bertentangan dengan keyakinan mereka adalah serangan yang keterlaluan dan ofensif terhadap hak-hak agama dan martabat dasar," kata Meenakshi Ganguly, Direktur Human Rights Watch Asia Selatan.

Ketegangan antaragama memuncak

Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa contoh kerusuhan terhadap masyarakat Muslim di negara tersebut. Ketegangan meningkat setelah aksi pengeboman Paskah 2019 yang mematikan, yang dilakukan oleh kelompok ekstremis setempat. Sejak saat itu, perasaan ketakutan dan pembalasan terhadap komunitas Muslim semakin menguat.

Tahun lalu, empat pelapor khusus PBB mengajukan banding ke pemerintah Sri Lanka, menyatakan bahwa kebijakan kremasi melanggar hak kebebasan beragama. Mereka meminta pemerintah untuk memerangi upaya yang memicu kebencian dan kekerasan agama.