Kremasi Paksa di Sri Lanka Picu Kemarahan Umat Beragama
- dw
Pemerintahan Presiden Gotabaya Rajapaksa mengklaim bahwa mengubur korban COVID-19 yang meninggal dapat mencemari air tanah, meskipun pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan penguburan korban tewas virus corona aman dan tidak menimbulkan risiko.
Kepala Epidemiologi Sri Lanka, Sugath Samaraweera, mengatakan komite ahli memperingatkan pemerintah bahwa penguburan dapat mencemari permukaan air tinggi negara pulau itu.
Beberapa keluarga Muslim dan Katolik, profesional kesehatan, dan pemimpin agama telah menantang keputusan Mahkamah Agung tentang kremasi dan meminta bukti penguburan korban COVID-19 dapat mencemari air tanah. Pengadilan, bagaimana pun, telah menolak semua petisi tersebut.
"Ini adalah masalah hak asasi manusia. Penguburan diperbolehkan di setiap negara di dunia. Pemerintah harus menjawab mengapa menolak penguburan yang bermartabat bagi warganya yang meninggal," kata Azath Salley, seorang politisi dan mantan Gubernur Provinsi Barat, kepada DW. "Apakah pemerintah ini menghukum Muslim karena tidak memilih mereka?" dia menambahkan.
Kremasi paksa
Kisah lain yaitu Mohammed Minhaj yang berusia 19 tahun juga dikremasi secara paksa setelah meninggal karena komplikasi COVID-19 pada bulan Oktober lalu, demikian menurut anggota keluarga.
"Minhaj adalah adik laki-laki saya dan dia menderita kelainan bentuk dan kebutaan yang parah," kata Mohammed Mazeer, saudara laki-laki Minhaj, kepada DW. Mazeer mengatakan pihak berwenang menguji 18 anggota keluarga dan mengkarantina keluarga tersebut. Pihak berwenang kemudian menuntut 50.000 Rupee Sri Lanka (Rp 3,6 juta) untuk mengkremasi jenazah Minhaj.