Tolak Kudeta Militer, Petugas Medis Myanmar Serukan Perlawanan
- Istimewa
VIVA – Kampanye perlawanan sipil terhadap kudeta militer Myanmar terus meningkat sejak Rabu 3 Februari 2021. Hal itu, juga didukung upaya dari Amerika Serikat yang akan memberikan sanksi berat kepada para Jenderal Myanmar yang berada di balik kudeta tersebut.
Dikutip dari Channel News Asia, pada Kamis 4 Februari 2021, tanda-tanda kemarahan publik atas aksi militer tersebut semakin hari terus terlihat di Myanmar, bahkan kini para tenaga medis di beberapa rumah sakit Myanmar umumkan perlawanan tersebut.
Para tenaga medis dan staf medis dibeberapa rumah sakit di Myanmar melakukan aksi perlawanan terhadap kudeta militer dengan mengenakan pita merah sesuai dengan warna dari NLD. Mereka meninggalkan pekerjaan non darurat untuk memprotes kudeta tersebut. Â
Sebelumnya, aktivis mengumumkan kampanye mereka di grup Facebook yang disebut 'Gerakan Perlawanan Sipil' pada Rabu sore. Kini mereka telah memiliki lebih dari 150 ribu pengikut dalam waktu 24 jam setelah pengumuman tersebut.
Dalam gerakan tersebut mengatakan bahwa dokter di 70 rumah sakit dan departemen medis di 30 kota di Myanmar telah bergabung dalam aksi protes tersebut.
Mereka menuduh tentara menempatkan kepentingannya di atas kesulitan orang-orang selama pandemi COVID-19 yang telah menewaskan lebih dari 3.100 orang di Myanmar. Angka ini menjadikan salah satu korban tertinggi di Asia Tenggara.
"Kami benar-benar tidak dapat menerima ini," kata Myo Myo Mon, 49 tahun, salah satu dokter yang berhenti bekerja untuk memprotes aksi militer Myanmar.
"Kami akan melakukan ini dengan cara yang berkelanjutan, kami akan melakukannya dengan cara tanpa kekerasan. Ini adalah cara yang diinginkan oleh pemimpin negara kami," kata Myo Myo Mon.
Sementara itu, Kepala Rumah Sakit di Distrik Gangaw, Aung San Min mengatakan pihaknya melakukan aksi ini untuk mengembalikan kekuasaan ke pemerintahan yang telah dipilihnya saat pemilu lalu.
Selain itu, selain aksi protes berhenti bekerja, tim medis juga memposting gambar di media sosial dengan menggunakan pita merah dan memberikan penghormatan tiga jari. Gerakan ini mengikuti aktivis demokrasi yang dilakukan di negara tetangga Thailand.
"Protes saya dimulai hari ini dengan tidak pergi ke rumah sakit. Saya tidak memiliki keinginan untuk bekerja di bawah kediktatoran militer," kata Nor Nor Wint Wah, seorang dokter di Mandalay.
Sebelumnya, suara bising panci dan wajan, serta klakson mobil terdengar di seluruh Yangon pada Selasa malam. Aksi itu menjadi seruan untuk protes dan menyampaikan kepada dunia luar di media sosial.