Profil Jenderal Min Aung Hlaing, Panglima Militer yang Kudeta Myanmar
- Istimewa
VIVA – Panglima militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, menjadi sorotan internasional setelah terjadi insiden penangkapan terhadap pemimpin Aung San Suu Kyi dan pejabat pemerintahan dalam upaya kudeta militer.
Militer Myanmar terkenal tertutup dan bahkan hanya sedikit pengamat yang mengenal cara kerja mereka. Berikut ini beberapa fakta dan peran abadi militer dalam sistem politik Myanmar, seperti diberitakan Channel News Asia.
Peran Militer dalam Politik
Militer memerintah langsung selama hampir 50 tahun setelah kudeta tahun 1962 dan menempatkan posisinya sebagai penjaga persatuan nasional.
Sebagai perancang konstitusi Myanmar tahun 2008, militer mengabadikan peran permanen dalam sistem politik. Militer mendapat kuota sebesar 25 kursi di parlemen dan ketuanya memiliki peran untuk menunjuk menteri pertahanan, dalam negeri dan perbatasan.
Jenderal Min Aung Hlaing
Semasa kuliah hukum di Universitas Yangon pada tahun 1972-1974, Min Aung Hlaing tidak mengikuti akvitas politik. Menurut teman sekelasnya, dia bahkan tidak banyak bicara dan biasanya tidak menonjolkan diri.
Saat siswa lainnya berdemo, Min Aung Hlaing justru bertekad mendaftar untuk bergabung dengan Akademi Layanan Pertahanan (DSA), dan berhasil pada usahanya yang ketiga kali pada tahun 1974.
Min Aung Hlaing mengambil alih menjalankan militer pada tahun 2011, saat transisi menuju demokrasi dimulai. Para diplomat di Yangon mengatakan saat dimulainya masa jabatan pertama Aung San Suu Kyi pada 2016, Min Aung Hlaing mengubah diri dari tentara biasa menjadi politisi dan tokoh masyarakat.
Panglima Tertinggi Myanmar itu tak pernah menunjukkan tanda apa pun untuk menyerahkan 25 persen kursi militer di parlemen maupun perubahan apa pun, pada klausul dalam konstitusi yang melarang Suu Kyi menjadi presiden.
Min Aung Hlaing lalu memperpanjang masa jabatannya di pucuk pimpinan militer selama lima tahun ke depan sejak Februari 2016.
Sanksi
Tindakan kekerasan yang dilakukan militer pada tahun 2017 di Myanmar, membuat lebih dari 730 ribu Muslim Rohingya ke negara tetangga Bangladesh. Penyelidik Perserikatan Bangsa Bangsa mengatakan operasi militer Myanmar termasuk pembunuhan massal, pemerkosaan dan pembakaran dengan niat genosida.
Sebagai tanggapan, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi terhadap Min Aung Hlaing dan tiga pemimpin militer lain pada 2019 dan beberapa kasus di pengadilan internasional termasuk Mahkamah Internasional, masih berlangsung.