Mengapa Sulit Sekali Menulis Tentang Jerman, Ini Kata Diaspora
- dw
Selain alasan yang sebetulnya salah saya itu, kalau saya harus cerita tentang pengalaman entah mengapa rasanya saya seolah sedang menunjukan hidup saya yang sebetulnya biasa-biasa ini. Iya, memang hidup saya di Jerman ini biasa-biasa saja. Gak menarik. Gak bisa menarik pasar kalau dijadikan film (padahal dilirik untuk jadi bahan script film pun, enggak).
Tanpa berusaha mendiskreditkan orang-orang yang merasa hidupnya serupa dengan saya dan cukup merasakan naik turunnya, rasanya mau hidup di manapun juga akan begini-begini saja. Mungkin terdengar seperti sebuah inkonsistensi, tadi katanya jungkir balik, kok sekarang biasa saja? Lebih tepatnya adalah di mana saja memang harus jungkir balik. Cuma kebetulan saja sedang di Jerman, jauh dari rumah dan bahasanya susah, jadi jungkirnya agak seret untuk balik.
Masih sangat Indonesia
Bisa saja saya menganggap hidup saya biasa juga karena saya, ehem, belum terlalu fasih dalam berbahasa Jerman. Fasih yang saya maksud disini, bukan cuma dalam situasi formal, tapi juga kehidupan sehari-hari. Saya masih sangat Indonesia.
Meskipun saya tinggalnya jauh sekali di pelosok Jerman, lingkungan pergaulan saya mayoritas orang Indonesia, masih sering berkumpul juga dengan teman Indonesia. Pokoknya kalau tidak pergi kuliah, rasanya saya tidak akan pernah bicara dengan native disini. Agak ironis ya, jauh-jauh sekolah kesini tapi malah kembali mencari sepersekiannya dari rumah. Tapi bagaimana lagi, melebarkan zona nyaman itu lebih mudah teori daripada prakteknya.
Sepertinya yang saya rasakan ini, juga banyak dialami oleh para pengguna multi bahasa seperti saya. Setiap kali saya masuk kelas rasanya otak saya dipaksa untuk mengucapkan basa-basi yang tidak pernah diajarkan atau terpikirkan dalam bahasa Jerman seperti, "Weekend kemarin ke mana?” atau sekedar gosip tentang profesor tertentu.
Hei, gosip kan, masih pemegang rangking satu dalam masalah merekatkan hubungan antar manusia!