Banyak Penjahit Asal Asia di Australia Tak Terlihat dan Dieksploitasi
- abc
Dari garasi di rumahnya di kawasang Springvale, Melbourne, Ghet Ky terlihat sedang menjahit pakaian.
Ia adalah seorang penjahit yang bekerja dari rumah, atau sebutannya "outworker" dan garasi di rumahnya sudah menjadi tempat kerjanya dalam 25 tahun, sejak ia pindah ke Australia dari Vietnam.
Saat pandemi COVID-19, salah satu perusahaan memesan masker kepadanya dengan tawaran 80 sen Australia untuk satu masker.
Tapi setelah menghitungnya, dengan tawaran harga tersebut artinya ia hanya mendapat upah $7, atau lebih dari Rp70.000 per jam, atau sepertiga dari upah minimum yakni $20.41, atau lebih dari Rp200.000 per jamnya.
Ghet mengatakan ia mendapat pesanan pada hari Jumat, sementara perusahaan tersebut meminta ia menyelesaikannya pada hari Senin.
"Saya kirim SMS kepadanya ... karena saya tahu berapa upah minimum untuk keahlian dasar menjahit, bukan tarif saya, tapi tarif untuk penjahit baru di industri ini," kata Ghet.
"Artinya saya harus kerja lebih dari 12 jam sehari, ditambah tagihan listrik dan ditambah lagi akan kerja di akhir pekan, jadi tak ada waktu dengan keluarga."
Ghet mengaku tahu apa haknya sebagai penjahit, tapi kebanyakan mau saja menerima pesanan jahitan dengan upah murah. (ABC News: Erwin Renaldi)
Ia mengatakan berdasarkan perhitungan produksi dan jumlah waktu kerjanya, maka biaya untuk membuat satu masker berkisar antara $2.50 sampai $3, atau sekitar Rp25.000 hingga Rp30.000.
Ghet mengatakan ia akhirnya menerima pesanan untuk membuat 300 masiker di akhir pekan dan perusahaan tersebut menyetujui biaya pembuatan sesuai yang diminta Ghet.