Bagaimana Rusia Melancarkan Perang Disinformasi di Georgia
- dw
Pada sebuah pagi, sekitar setahun yang lalu, warga Georgia tiba-tiba kembali dihantui bekas Presiden Michael Saakashvilli. Dia sudah melarikan diri ke Ukraina pasca perang dengan Rusia. Tapi hari itu wajahnya memenuhi laman utama di sebanyak 15.000 situs internet, dengan dibubuhi pesan “aku akan kembali.”
Pemerintah Georgia mengungkap insiden itu disebabkan oleh serangan siber para peretas Rusia. Metode serupa diklaim pernah digunakan selama perang proksi tahun 2008 lalu.
Menurut pakar keamanan, kampanye disinformasi yang digalang Moskow biasanya menggunakan empat model narasi: penyanggahan terhadap kritik, pengaburan fakta, pengalihan isu dan pendeskreditan terhadap audiens.
Rusia saat ini menguasai seperlima wilayah teritorial Georgia menyusul perang teranyar di pegunungan Kaukasus. Di sana, Moskow membentuk dua negara boneka, Abkhazia dan Ossetia Selatan, dengan garis demarkasi yang dijaga militer dan akses yang dibatasi.
Perpecahan antara dua negara yang dulu bersahabat itu berawal pada Revolusi Mawar pada 2003. Sejak itu pemerintah di Tblisi beralih haluan dari Rusia ke Eropa, dan mengupayakan keanggotaan resmi di sejumlah lembaga internasional bentukan barat.
Intervensi militer Moskow baru dilancarkan ketika Georgia mendorong keanggotaan di Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO. Namun kebijakan pemerintah mendekat ke Uni Eropa dan NATO didukung oleh 75% penduduk. Sebab itu pula Rusia melancarkan perang disinformasi yang membidik jiran atau sekutu Georgia.
Kampanye anti-demokrasi
Sasaran Rusia, menurut Batu Kuteila, Wakil Direktur Atlantic Council of Georgia, adalah “untuk membuktikan bahwa demokrasi liberal sebagai hal yang mustahil.” Propaganda Rusia tidak dibuat untuk membangun simpati, melainkan antipati publik terhadap masyarakat Eropa.
Arus disinformasi terhadap Eropa berpusar pada krisis pengungsi, yang diklaim membuat kota-kota di Eropa Barat menjadi sarang tindak kriminal. Sebuah video aksi demonstrasi di Aljazair misalnya diunggah ulang di Georgia dan diberi judul berbahasa Rusia “Jerman: Polisi Terjebak di Pemukiman Muslim.”
Bukti lain muncul September silam, ketika surat palsu dari Komisi Eropa beredar di media sosial. Di dalamnya, Uni Eropa berterimakasih kepada presiden Georgia atas kamp pengungsi yang tidak ada di negraa itu.