Damai di Nagorno Ciptakan Krisis Politik di Armenia
- dw
“Anda tidak akan mampu menghentikan seisi negeri,” kata anggota parlemen dari Partai Kesejahteraan Armenia, Arman Abovyan, yang ikut berorasi dalam aksi demonstrasi di Yerevan, meski adanya larangan berkumpul menyusul wabah corona.
Kepolisian mengumumkan telah menahan 135 orang, termasuk tokoh oposisi Gagik Tsarkuyan. Semua dibebaskan usai aksi protes bubar.
“Azerbaijan menang secara militer dan Armenia mengalami kekalahan telak. Dan perasaan dipermalukan bukan pondasi yang kuat bagi perdamaian berkelanjutan,” tulis International Crisis Group, sebuah wadah pemikir internasional, dalam laporan terbarunya yang dirilis Kamis (12/11).
Bagi warga Armenia, keterlibatan Turki dalam perang di Nagorno memperkuat sentimen nasionalistik yang lahir dari trauma sejarah. Di laman editorial bulanan politik, Le Monde Diplomatique, pakar Armenia Avedis Hadjian, menulis betapa sebagian warga meyakini, agresi Turki merupakan babak lanjutan dari episode kelam berupa genosida terhadap etnis Armenia di era Utsmaniyah antara 1914 dan 1923.
Perang ini, tulisnya, dipandang sebagai cara “untuk menyelesaikan proyek yang dimulai seabad silam.”
Meski resminya merupakan teritorial Azerbaijan, Nagorno-Karabakh dihuni oleh etnis Armenia dan Azeri sejak ratusan tahun lalu, sampai akhirnya gencatan senjata 1994 mengusir warga Azerbaijan dari kawasan tersebut.
Kekuasaan milisi Armenia di kawasan yang dinamakan Republik Artsakh itu sendir tidak diakui oleh pemerintah di Yerevan. Namun Armenia membantu melindungi status quo dengan dukungan finansial dan militer.
Bumerang bagi Pashinyan