Damai di Nagorno Ciptakan Krisis Politik di Armenia
- dw
Puluhan ribu warga turun ke jalan di ibu kota Armenia, Yerevan, demi menuntut mundur Perdana Menteri Nikol Pashinyan menyusul perjanjian damai di Nagorno Karabakh. Gencatan senjata itu dibuat usai militer Azerbaijan menduduki sejumlah wilayah kunci di kawasan yang dulu dikuasai militan Armenia.
Aksi protes yang digelar oleh kelompok oposisi dikabarkan disambangi hingga 10.000 orang. Sebagian demonstran terlibat baku hantam dengan aparat keamanan. Mereka meneriakkan “Nikol, pergi dari sini” dan “Nikol sang penkhianat” di depan gedung pemerintah.
Ketegangan di Yerevan dipicu oleh perjanjian damai yang dimediasi Rusia dan Turki. Kesepakatan yang dirayakan di Azerbaijan, namun memicu rasa gundah di jiran yang bermusuhan itu, mensyaratkan militer Armenia harus mengembalikan wilayah yang didudukinya di luar Nagorno-Karabakah.
Kawasan yang harus dikembalikan termasuk wilayah Lachin, yang menjadi satu-satunya jalur penghubung antara Armenia dan Nagorno-Karabakah. Perjanjian damai mengusulkan pembentukan koridor kemanusiaan yang tetap dibuka dan dijaga oleh pasukan penjaga perdamaian Rusia.
Armenia juga diwajibkan membuka jalur khusus bagi Azerbaijan untuk mengakses wilayah teritorialnya di Nakhchivan yang dikelilingi oleh Armenia, Turki dan Iran. Kawasan eksklave tersebut terletak terpisah dari Azerbaijan.
Identitas nasional dan trauma sejarah
Tidak heran jika bagi sebagian warga Armenia, perjanjian tersebut mencederai keutuhan teritorial negara. Nagorno “adalah kebudayaan kami, jiwa kami yang sekarang hilang. Belum lagi mengingat pengorbanan cuma-cuma ribuan tentara kita, yang mati atau terluka,” kata Jenny, seorang mahasiswi di Yerevan yang ikut berdemonstrasi.