Dilema Sulit Irak Hadapi Milisi Bersenjata Pro-Iran
- dw
Menteri Luar Negeri Irak, Fuad Hussein, mendapati diri berada di tengah situasi pelik. Jika lobinya gagal, negerinya akan kehilangan kanal diplomatik paling penting sejak era kejatuhan Saddam Hussein.
Sudah kesekian kali dalam beberapa pekan dan bulan terakhir, AS melaporkan serangan roket milisi pro-Iran terhadap gedung kedutaan besarnya di Baghdad. Pada bulan Juli lalu, sebanyak 40 kali kedutaan diserang.
Peringatan terakhir dari Washington datang beberapa hari lalu. Menlu Mike Pompeo mewanti-wanti Presiden Barham Salih dan PM Mustafa al-Kadhimi, pihaknya akan terpaksa menutup kedutaan jika aparat keamanan Irak tidak mampu memberikan pelindungan efektif.
Ancaman Pompeo memicu kegelisahan di lingkaran kekuasaan Irak. Pasalnya jika korps diplomatik AS hengkang dari Baghdad, kedutaan besar negara lain akan segera menyusul, tutur Menteri Luar Negeri, Fuad Hussein.
Belum lama ini situs online, Middle East Eye, mengutip sumber anonim di Baghdad, bahwa AS juga mempertimbangkan serangan militer terhadap milisi pro-Iran di Irak. Menurut laporan tersebut persiapan juga sudah dilakukan untuk mengeliminasi sebanyak 80 sasaran serangan.
Meski belum diverifikasi, kabar tersebut kadung memicu kecemasan di Irak dan kawasan, serta menggandakan tekanan terhadap pemerintah di Baghdad agar lebih tegas menindak milisi bersenjata yang bercokol di wilayahnya.
“Mereka yang menyerang perwakilan asing ingin membuat Irak tidak stabil, dan melemahkan hubungan internasional dan regionalnya,” kata Fuad Hassan.
Bagian dari “Poros Perlawanan”
Milisi bersenjata pro-Iran memiliki tingkat kedekatan yang berbeda-beda dengan militer Republik Islam. Sebabnya upaya Irak menundukkan atau melucuti milisi-milisi Syiah diyakini bukan perkara sederhana.
Analis politik Timur Tengah, Hamdi Malik, bahkan menilai misi tersebut mustahil dilakukan. Dalam tulisannya untuk lembaga pemikir AS, Atlantic Council, dia meyakini “kelompok seperti Kataib Hizbullah tidak akan secara sukarela atau melalui perundingan, bersedia untuk menyerahkan senjata.”
Menurutnya para gerilayawan “meyakini sedang menjalankan misi suci,” dan mendefinisikan diri sebagai bagian dari “Poros Perlawanan” yang digalang Iran. “Adalah naif untuk meyakini bahwa Kataib Hizbullah atau milisi Irak lain akan mau berkompromi tanpa tekanan yang serius.”
Kataib Hizbullah belakangan tidak lagi aktif membantu serangan terhadap fasilitas milik Amerika Serikat.
Reaksi pemerintah Irak
Untuk membatasi keran pendanaan bagi milisi di Irak, Perdana Menteri al-Khadimi, menempatkan orang kepercayaannya di posisi penting, seperti di Badan Antiteror dan Bank Sentral Irak, serta sejumlah institusi keuangan lain.
Para pejabat yang digeser sejak lama dituduh menyuburkan praktik korupsi dan pendanaan teror karena menikmati keuntungan dari transaksi keuangan yang melibatkan milisi bersenjata atau aliran dana gelap untuk partai politik.
Selebihnya tidak banyak reaksi yang ditunjukkan pemerintah Irak. Juni silam, militer menyerang salah satu markas Kataib Hizbullah dan menangkap belasan gerilyawan. Serangan tersebut termasuk satu dari sedikit operasi militer yang dilancarkan Irak terhadap milisi pro-Iran.
Al-Khadimi yang baru menjabat sejak Mei silam, diangkat lewat pengaruh kuat Iran dan atas persetujuan AS. Posisnya berada di titian antara kepentingan kedua negara. Meski bergantung kepada Washington, Irak menghadapi derasnya desakan Iran yang berpengaruh menjalankan roda ekonomi dan stabilitas keamanan.
Milisi di bawah tekanan
Meski demikian milisi-milisi Syiah di Irak sedang menjalani masa-masa sulit. Pembunuhan terhadap komandan al-Quds, Jendral Qassem Soleimani, dan kepala “Satuan Mobilisasi Rakyat,” Abu Mahdi al.Muhandis, awal tahun 2020 mengocok ulang rantai lobi terhadap Teheran.
Pasalnya pengganti Soleimani, Esmail Ghaani, tidak memiliki jaringan kontak yang dalam dan intim dengan milisi-milisi di Timur Tengah seperti pendahulunya.
Selain itu sanksi ekonomi AS terhadap Iran diyakini turut menyusutkan kucuran dana perang terhadap milisi-milisi di Irak. Hilangnya sumber devisa, ditambah dengan tekanan pandemi corona, memaksa pemerintah berhemat pengeluaran.
Terlebih, milisi-milisi Irak kini mulai kehilangan dukungan masyarakat, seperti yang terlihat pada aksi demonstrasi kaum muda yang sempat melumpuhkan negeri di pengujung 2019 lalu. Mereka menentang pengaruh Iran di Irak. Di Najaf, massa bahkan membakar gedung konsulat Iran.
rzn/ap